Selasa, 13 Oktober 2009

Study Masyarakar Indonesi (SMI)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala perubahannya struktur social dan pola budaya dalam satu masyarakat. Perubahan social busaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan ini terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan menyebab dari perubahan.
Perubahan social budaya terjadi karena beberapa factor. Diantaranya komunikasi; cara dan pola piker masyarakat; factor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadi konflik atau revolusi; dan factor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan dan pengaruh budaya masyarakat lain.
Ada pula beberapa factor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; prasangka negative terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adapt atau kebiasaan; konflik atau revolusi; dan factor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa factor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negative terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat istiadat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Perubahan Sosial?
2. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan social?
3. Bagaimana bentuk proses perubahan Sosial?
4. Baaimana proses penyatuan dan pemecahannya?
5. Bagaimana proses Akomodasi keseimbangannya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perubahan Sosial
Perubahan social dalam analisis sosiologi menyangkut dorongan-dorongan perubahan social yang inheren dalam kontruksi tatanan social yang bersangkutan. Premis ini mencerminkan posisis masalah (problem stellung) sosiologis, yang terus berkembang sejak awal abad XIX.
Hal ini, dirasakan oleh masyarakat Indonesia banyak terjadi perubahan tatanan social. Yang dimaksud tatanan social disini dapat berupa keadaan transisi dan prasosial, keadaan individual sampai ke kehidupan social seperti kelembagaan social dan struktur masyarakat. Misalnya dalam mengidentifikasi berupa mekanisme keorganisasian, eksploitasi dan aliensi, disorganisasi social tentang anomi dan sebagainya.
Masalah perubahan social, dimulai dengan organisasi social sebagai suatu kontinuitas dan disorganisasi social. Dengan demikian, kondisi dan situasi dapat mengganggu keseimbangan dan menghasilkan disorganisasi social. Arti simbiosis organisasi kepada bermacam-macamnya ketergantungan fungsi, peranan pembagian dan fungsi yang terbentuk dalam kehidupan dasar nonsimbiotis dan saling ketergantungan juga membantu masyarakat sebagai kekuatan untuk kohesi atau kekompakan social. Faktor-faktor budaya, kepercayaan agama, loyalitas dan andilnya hokum-hukum yang bersifat ideologis, semuanya merupakan factor nonmaterial yang dihasilkan bersama di dalam masyarakat.
Simbiosis dan ikatan budaya adalah fundamental dan penting dalam menciptakan masyarakat bersama dan dalam mempertahankan integrasi social. Melalui proses sosialisasi, individu membutuhkan dan mengikuti pola-pola prilaku melalui simbiose dan aspek budaya dalam masyarakat. Individu akan saling tergantung dan akan saling mengikuti nilai-nilai, sehingga mempunyai dampak terhadap perilaku dan hubungannya dengan masyarakat.
Dalam keadaan normal dapat pula terjadi perubahan atau disorganisasi social yang menyebabkan bermacam-macam, contohnya:
1) Konflik norma, norma-norma dalam masyarakat dapat terjadi konflik dengan adanya perubahan-perubahan dalam berbagai pola atau aspek lain dari kehidupan yang menyebabkan disorganisasi.
2) Tingkat perubahan budaya waktunya tidak semua sama, tetapi terjadi “cultural lag”, yaitu tidak samanya perkembangan antara budaya materi dengan mentalnya orang yang menerima budaya materi tersebut.
3) Peraturan (sistem) yang tidak baik atau konflik antara manusia dengan lingkungannya (fisik, social, ekonomi, politik dan lain-lain).
Disorganisasi social tersebut berkaitan dengan teori-teori social yang diterapkan dan bahkan menentukah arah perubahan sosialnya. Teori tertib social tersebut meliputi empat macam, yaitu: teori pakasa, teori kepentingan, teori consensus dan teori lambat.
Teori tertib social tersebut dijelaskan oleh Mar’at sebagai berikut:
Teori paksa berasumsi bahwa kekuasaan (power) adalah sarana ampuh untuk mencapai tertib social. Teori ini menolak tentang realitas keanekaragaman social dan budaya. Keteraturan social diperoleh dari paksaan fisik dan moral. Paksaan moral akan diterima apabila nilai-nilainya diterima. Teori ini sering digunakan dengan dalih pembangunan yang mendesak. Akibat dari penerapan demikian, sering timbul gerakan-gerakan di bawah tanah, persekongkolan kutukan dan disorganisasi social, tertib semu dan ketegangan (laten). Keadaan demikian akan menimbulkan perubahan social.
Teori kepentingan berasumsi bahwa masyarakat dapat tertib karena ada kesepakatan social dan saling percaya. Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Teori ini hanya efektif bagi masyarakat pedesaan yang bersifat homogen. Tujuan tertib social kepentingan dapat tercapai apabila ada consensus. Dampak dari teori kepentingan ini adalah tertutupnya budaya kritik, sehingga aspirasi tidak tersalurkan. Keadaan ini akan menimbulkan perubahan social dengan mental budaya yang kurang menguntungkan, misalnya apatis.
Teori kepsepakatan berasumsi bahwa tertib social dapat tercapai karena manusia terikat akan norma dan nilai, sehingga terjadi consensus yang bersifat moral. Kelemahan teori ini, consensus akan dipaksakan pada masyarakat yang bersifat pluralistic, seperti banyaknya unsur-unsur primordial.
Teori lambat menekankan perlunya suatu kondisi yang dapat tercapai dengan memperlambat perjuangan unsure pokok kehidupan melalui isu-isu kecintaan, kesetiaan dan disiplin. Teori ini akan menimbulkan perubahan pada segi-segi personalitas, seperti sikap yang mementingkan segi formal (serba formalitas) tetapi tidak menyelesaikan masalah.
Untuk menganalisis arah perubahannya sendiri, dibantu dengan perangkat teori Parsons tentang teori tindakan berupa variable-variabel berpola yang memperlihatkan ilmu pilihan dikotomi yang harus diambil seseorang secara eksplisit dan implicit dalam menghadapi orang lain dalam situasi social apa saja. Teori Parsons ini hanyalah untuk menganalisis bagaimana tindak lanjut sikap social masyarakat sebagai akibat penerapan teori tertib social. Hasil analisis tindakan teori parsosn ini membantu dalam memberikan alternative penerapan teori tertib social yang tetap.
B. Faktor penyebab Perubahan Sosial
Ada 2 faktor yang menyebabkan perubahan social yaitu:
1. Faktor Intern (dalam)
- Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
- Adanya penemuan baru, seperti:
1. Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau aanggota masyarakat
- Konflik yang terjadii dalam masyarakat
- Pemberontakan atau revolusi
2. Faktor Ekstern (luar)
- Perubahan alam
- Peperangan
- pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Jadi menurut Soerjono Soekanto faktor pendorong perubahan sosial adalah:
1. Sikap menghargai hasil karya orang lain
2. Keinginan untuk maju
3. System pendidikan yang maju
4. Toleransi terhadap perubahan
5. System pelapisan yang terbuka
6. Penduduk yang heterogen
7. Ketidak puasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu
8. Orientasi ke masa depan
9. Sikap mudah menerima hal baru.
C. Proses Perubahan Sosial
Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan,melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai social yang kebudayaan secara intergratif. Atas dasar ini, semua pihak, apakah tokoh? Tokoh masyarakat, formal atau non formal, anggota masyarakat lainnya. Apakah dalam skala individual atau pun dalam skala kelompok, seyogyanya memahami dan menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek atau unsure social atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsure-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmoniskan kondisinya dengan unsure-unsur lain yang telah berubah terlebih dahulu.
Oleh karena itu mesti memahami dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan nilai (value). Di mana norma skala kelompok social yang bersangkutan, sedangkan nilai (value) skala keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju atau modern, maka nilai-nilai social dan cultural yang bersifat universal mendominasi dan mengisi semua mosaic kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
a. Orientasi Perubahan
Yang dimaksud orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) Perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan factor-faktor atau unsure kehidupan social yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsure yang memang bentuk atau unsure baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsure, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek, namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menelusuri, mengekslorasi, dan menggali serta menemukan unsure-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Tidaklah jarang, bahwa tokoh-tokoh dan ungkapan-ungkapan yang bermanusia seni sastra pada masa lampau, baik suatu fenomena yang bernuansa imajinasi, yang ditampilkan oleh berbagai bentuk ceritera rakyat atau folklore. Semuanya lazim menyadarkan atau menampilkan nilai-nilai keteladanan, baik dalam aspek gagasan, aspek pengorganisasian dan kegiatan social, maupun dalam aspek-aspek kebendaa. Aspek-aspek ini senantiasa dimmuati oleh nilai-nilai kearifan dan kebijakan yang memberikan acuan bagaimana orang mesti berfikir, berasa, berkarsa dan berkarya dalam upaya bertanggungjawab pada dirinya, pada sesamenya dan pada lingkungannya, serta inilah yang menjadi nuansa-nuansa dalam membangun kepribadian atau jatidiri sebagian besar masyarakat atau suatu kelompok bangsa dimanapun mereka berada.
b. Modernisasi Sebagai Kasus Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisi, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilaiatau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang kebelakangnya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values sebagai contoh atau kasus, seyogyanya manusia mengenakkan pakaian ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua pihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dri waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.

D. Proses Penyatuan dan Pemecahan
Proses penyatuan dan pemecahan ini adalah lebih mengarah pada pengambilan keputusan dalam menyelesaikan suatu masalah, misalnya:
 Masalah dalam Proses Pengambilan Keputusan
1. Karakteristik dan Jenis Masalah
Definisi sederhana tentang masalah adalah sesuatu yang harus ditemukan pemecahannya. Definisi lain yang diajukan adalah masalah merupakan sebuah pertanyaan yang diajukan untuk diberikan solusi atau pertimbangan jawaban. Dalam kajian manajemen dan bisnis, masalah dianggap sebagai terjadinya kesenjangan antara peristiwa yang diharapkan terjadi (expected condition) dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi (real condition).
Dunn (1994) mengemukakan bahwa masalah menunjukkan kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan harapan. Dalam bahasa statistik yang dimaksud dengan masalah adalah deviasi antara standar pelaksanaan dengan pelaksanaan yang berbeda. Johanes Supranto (1998:21) mendefinisikan masalah sebagai sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan yang diinginkan/diharapkan. Prajudi Atmosudirdjo (1990:161) mengemukakan masalah adalah sesuatu yang menyimpang dari apa yang diharapkan atau direncanakan atau ditentukan untuk dicapai, sehingga merupakan rintangan atau hambatan untuk mencapai tujuan. McLeod (1996:200) mendefinisikan masalah sebagai suatu kondisi yang memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian yang luar biasa atau menghasilkan keuntungan yang luar biasa.
Suatu masalah memiliki beberapa karakteristik, Dunn (1994) mengemukakan terdapat empat karakteristik dari masalah kebijakan, yaitu:
1) Interdependence of policy problem
Dalam kenyataan masalah-masalah bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari seluruh system masalah yang paling baik diterangkan sebagai messes, yaitu suatu system kondisi eksternal yang menghasilkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda. System masalah yang saling berkaitan mengharuskan pemecahan masalah menggunakan pendekatan holistik, yaitu suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan system yang mengikatnya.
2) Subjectivity of policy problem
Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapat suatu anggapan bahwa masalah bersifat objektif –misalnya, polusi udara dapat didefinisikan sebagai tingkat gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer- data yang sama mengenai polusi dapat diinterpretasikan secara beda.
3) Artificiality of policy problem
Masalah-masalah keputusan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah merupakan hasil penilaian subyektif manusia, masalah itu juga bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif, dan karenanya masalah dipahami, dipertahankan dan diubah secara sosial.
4) Dynamic of policy problem
Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana banyak definisi terhadap masalah tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan, dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang.
2. Proses Mendifinisikan Masalah
Charles F. Kettering (Siagian, 1980:98) mengatakan suatu masalah yang sudah didefinisikan dengan baik berarti sudah separoh terpecahkan. Patton dan Sawicki (1986:103) menjelaskan bahwa definisi masalah merupakan langkah kunci.
Persoalannya adalah tidak mudah untuk mendefinisikan suatu masalah, sebab menurut Miller dan Starr (1978:504) tidak semua orang memandang hal yang sama sebagai masalah bahkan bila hal tersebut terjadi pada situasi yang serupa. Sebagian orang akan mengatasi masalah itu dan berupaya memecahkannya. Yang lainnya akan mengabaikan atau menunda masalah, artinya, tidak segera berupaya memecahkan masalah. Bagi mereka hanya ada satu pertanyaan petunjuk-masalah, bukan masalah nyata menurut bahasa. Kondisi ini menurut Miller dan Starr (1978:504) disebabkan oleh beberapa hal yaitu 1) tujuan yang diharapkan dari pemecahan masalah, 2) ruang lingkup (size) organisasi, dan 3) keuntungan potensial yang diharapkan dari pemecahan masalah. Oleh karena itu menurut Ackoff (Dunn, 1994), mengemukakan “keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal karena kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat”. Dengan demikian dalam merumuskan masalah terlebih dahulu harus memahami hakikat dari suatu masalah.
Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses. Dunn (1994) menyebutkan ada empat fase yang saling berkaitan, yaitu
1) Pencarian masalah (problem search), adalah proses penemuan dan penyatuan beberapa representasi masalah, atau metaproblem, yang dihasilkan oleh para pelaku kebijakan.
2) Pendefinisian masalah (problem definition), adalah proses mengkarakteristikan masalah-masalah substantif ke dalam istilah-istilah yang paling dasar dan umum.
3) Spesifikasi masalah (problem specification), adalah tahap pemahaman masalah dimana analis mengembangkan representasi masalah substantif secara formal (logis atau matematis)
4) Penghayatan masalah (problem sensing), adalah tahapan perumusan masalah dimana analisis kebijakan mengalami kekhawatiran dan gejala ketegangan dengan cara mengenali situasi masalah.
E. Proses Akomodasi Keseimbangan
1. Pengertian Akomodasi
Menurut Soerjono Soekanto, Istilah akomodasi digunakan dalam dua arti, yaitu sebagai suatu keadaan dan suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi berarti adanya kenyataan suatu keseimbangan (equilibrium) hubungan antar individu atau kelompok dalam berinteraksi sehubungan dengan norma-norma social dan kebudayaan yang berlaku. Sebagai suatu proses, akomodasi berarti sebagai usaha manusia untuk meredakan atau menghindari konflik dalam rangka mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin – Akomodasi adalah suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang mengarah kepada adaptasi sehingga antar individu atau kelompok terjadi hubungan saling menyesuaikan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.
2. Tujuan Akomodasi Secara Sosiologis
1) Untuk mengurangi konflik antar individu atau kelompok sebagai akibat perbedaan paham. Sehingga akomodasi disini bertujuan untuk mendapatkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut agar memperoleh suatu pola baru.
2) Untuk mencegah meledaknya konflik.
3) Kerjasama antar kelompok-kelompok social yang saling terpisah
4) Mengusahakan peleburan antar kelompok-kelompok social yang terpisah. Seperti dengan perkawinan campuran atau asimilasi

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perubahan social budaya terjadi karena beberapa factor diantaranya komunikasi, cara dan pola pikir masyarakat, factor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya komflik atau revolusi, dan factor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan, melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai social dan kebudayaan secara integrative, atas dasar lain, semua pihak, apakah tokoh? Tokoh masyarakat, formal atau non-formal anggota masyarakat lainnya, apakah dalam skala individual ataupun dalam skala kelompok, seyogyanya memahami dan menyadari bahwa, manakala suatu aspek atau unsure social atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsure-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmoniskan kondisinya dengan unsure-unsur lain yang telah berubah terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
M. Munandar Soelaiman. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan. Yogyakarrta: Pustaka Pelajar Offset.
Henriot, Joe Hollad Peter SJ. 1986. Analisis Sosial dan Refleksi Teologis. Yogyakrta: Kanasius.
Poespowardojo, S,. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Van Peursen, 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar