Selasa, 13 Oktober 2009

Gerakan Sosial Indonesia

GERAKAN SEBAGAI USAHA PERUBAHAN

Di bawah penguasa yang lalim, despotic, suatu gerakan akan mudah mendapat citra buruk, negative, atau Kriminal. Propaganda jahat dari penguasa tersebut, kerapkali membuat banyak orang tidak sempat untuk menggali lebih jauh makna dasar dari konsep tersebut. Banyak usaha yang dilakukan orang untuk mencapai kondisi tertentu, tanpa disadari bahwa tindakan tersebut merupakan rangkaian aktivitas yang bias disebut sebagai suatu gerakan. Tidak jarang penguasa lalim, menyeret orang atau kelompok ke penjara dengan klaim bahwa mereka adalah pihak yang menggelar gerakan yang bisa mengacaukan kehidupan masyarakat. Sementara korban (yang diseret ke penjara), mungkin, tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan bisa membawa implikasi sangat jauh. Sebalaiknya tidak jarang pula, penguasa menciduk warga masyarakat biasa, awam, yang tidak jelas kesalahannya, dan mendapat dakwaan yang mengerikan. Baru belakangan diketahui ia adalah korban dari terror penguasa.

A. Pengertian Gerakan
Dalam pemahaman umum, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi tertentu (realitas sosial) di masyarakat. Berbicara mengenai realitas social sudah tentu sangat luas dan kompleks. Sebab yang tercakup, meliputi pula hubungan-hubungan antar individu, hubungan social, ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, pembahasan ini mempersempit ruang pembicaraan, dimana focus perhatian lebih kepada (kajian) atas reaksi (respon, perlawanan) terhadap hubungan-hubungan social yang ada di masyarakat dan juga hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi antara masyarakat dan Negara, yang dinilai bermasalah atau harus diubah. Pilihan kekuasaan, sudah tentu bukan dimaksudkan untuk menegasi atau mengabdikan urgensi masalah-masalah lain dalam dinamika social. Hal ini didasarkan pula bahwa dalam kasus gerakan perubahan secara mendasar ditentukan oleh dinamika dan konfigurasi kekuasaan. Yang dimaksud adalah bahwa perubahan pada gilirannya akan ditentukan oleh tarik-menarik antara kekuatan yang menghendaki perubahan dan kekuatan yang tidak menginginkan perubahan. Konfigurasi kekuatan akan sangat memberi warna.
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan respon atau reaksi terhadap suatu keadaan, adalah respon yang diberikan oleh pihak-pihak tertentu dalam masyarakat, yang ingin mendorong perubahan. Pihak yang dimaksud disini tentu bukan individu (perorangan), melainkan kelompok atau suatu grup kekuatan tertentu. Adapun perubahan yang dimaksudkan disini adalah perubahan social, yang diawali dengan terjadinya perubahan relasi kekuasaan atau perubahan tata kekuasaan. Perubahan relasi dan tata kekuasaan, merupakan awal dan bukan akhir. Artinya, perubahan yang dimaksud bukan sekedar suatu proyek penggantian kekuasaan, atau sirkulasi kekuasaan meskipun terdapat kemungkinan dimana gerakan tergelincir hanya sekedar mendorong perubahan jangka pendek atau perjuangan politik untuk menyebut kekuasaan semata (power struggle).
Mengingat keadaan disuatu negeri selalu merupakan kondisi di bawah kekuasaan penguasa tertentu, maka gerakan disini, dapat pula bermakna sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa. Sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap penguasa (penyelenggara kekuasaan yang despotic dan tidak disuakai rakyat), gerakan tidak lain dari kumpulan keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan. Reaksi tersebut tidak mengabdi kepada hanya sekedar reaksi, melainkan dimaksudkan untuk mengubah kondisi tersebut, kepada suatu keadaan baru, yang dipandang lebih baik dan lebih bermakna. Gerakan dapat dipahami sebagai usaha untuk mengubah satu situasi (kondisi) kepada keadaan baru. Dalam kerangka kehidupan masyarakat, maka gerakan tidak lain dari berbagai upaya yang dimaksudkan untuk mengubah tatanan yang tidak adil, menuju sebuah tata baru yang lebih memberi jaminan pada realisasi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat manusia.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, gerakan timbul tenggelam dengan berbagai argument atau landasan. Hal ini menunjukkan pula bahwa kenyataan social yang ada selalu saja menimbulkan ketidakpuasan, terutama selalu termuatnya ketidakadilan dalam tatanan yang ada, yang menjadikan sebagian manusia tidak beruntung, nestapa dan paria, sedangkan sebagian yang lain dapat hidup penuh kehormatan, kelimpahan dan kesenangan. Kendati telah banyak gerakan yang berkembang drai waktu ke waktu, namun tetap saja keadaan belum begitu banyak beranjak. Dengan demikian, timbulnya suatu gerakan merupakan hal yang sangat wajar, dan sekaligus menjadi bukti yang paling nyata bahwa manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Justru tidak adanya suatu gerakan untuk perubahan dalam suatu tatanan yang tidak adil, merupakan ancaman yang sangat serius bagi manusia dan kemanusiaan.
Dari pengertian tersebut, terdapat beberapa unsure yang bisa dikatakan menjadi variable utama konsep gerakan yang dikembangkan disini:
Pertama, keadaan masa kini yang dipandang buruk, menyimpan ketidakadilan, dan karena itu akan diubah. Baik tidaknya keadaan masa kini merupakan penilaian yang bersifat subyektif. Sang penguasa tentu akan memberi nilai plus terhadap realitas hari ini, dan kalau pun ada masalah, maka hal tersebut dikatakan sebagai proses yang harus dilewati, bukan soal prinsip yang perlu diributkan. Bahkan penguasa tidak segan-segan menggunakan propaganda murahan untuk menciptakan kesan bahwa realitas hari adalah yang terbaik dimasa lalu. Maka jangan heran bila penguasa despotic selalu mengeksplitasi masa lalu, membangun monument untuk masa lalu, agar kedudukannya tidak dipersoalkan. Pelaku gerakan akan dengan tajam dan tangkas membongkar semua selimut kebohongan tersebut.
Kedua, keadaan masa depan, yang menjadi harapan, dalam hal ini diidentifikasi sebagai keadaan baru yang lebih baik dan bermakna. Sebagaimana masa kini, masa depan yang dimaksud disini, merupakan cita-cita yang bersifat subyektif, yakni keadaan yang dibayangkan, diharapkan dan diperjuangkan oleh pihak yang mendorong perubahan. Rumusan masa depan akan sangat ditentukan oleh ideology atau garis politik dari kekuatan yang ingin perubahan.
Ketiga, pihak penguasa, rejim, sebagai penanggungjawab keadaan. Tidak bisa dihindari bahwa penguasa pada akhirnya harus menuai perlawanan atas tindakan atau keadaan yang diciptakan.

B. Perjuangan Pemuda
Pergerakan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka dikenal melalui tiga generasi, yaitu generasi ’08, generasi ’28, dan generasi ’45. Tiga generasi perjuangan tersebut semuanya diawali oleh golongan pemuda. Dengan kata lain, bahwa ketiga generasi itu digerakkan oleh kaum muda. Namun pergerakan pemuda dari tiga generasi tersebut mempunyai cirri khas tersendiri dalam langkah perjuangannya. Dibawah ini akan dapat diketahui tentang langkah yang ditempuh oleh golongan pemuda pada setiap generasi.
Pada generasi ’08, yang ditandai dengan berdirinya perkumpulan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini didirikan oleh pelajar STOVIA di bawah kepemimpinan R. Soetomo. Gedung STOVIA adalah sebuah gedung yang merupakan tempat bertemunya para pemuda dari berbagai daerah, baik yang belajar di STOVIA maupun yang bukan pelajar STOVIA. Pemuda-pemuda tersebut tampak lebih mudah bergaul dan ada kebebasan keluar masuk gedung STOVIA setelah Budi Utomo berdiri. Terlebih-lebih setelah selesainya Kongres Budi Utomo Pertama tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta dan dibebaskannya R.Soetomo dari tuntutan para dosen STOVIA untuk dipecat dari sekolahnya. Direktur STOVIA dr. H.F. Roll membela R. Soetomo sehingga apa yang dituduhkan oleh para dosen itu dapat dijawab oleh dr. H.F. Roll dengan baik, sehingga R. Soetomo tidak bias dipecat dari STOVIA.
Dengan memperhatikan sikap dan langkah yang dilakukan oleh direktur STOVIA tersebut, mulailah para pemuda dari luar STOVIA memberanikan masuk ke gedung STOVIA secara teratur. Makin lama terjadilah pergaulan antara pemuda dari berbagai daerah secara akrab. Pada mulanya hanya pemuda-pemuda dari jawa saja yang menginginkan untuk berorganisasi. Hal itu disebabkan telah ada organisasi Budi Utomo yang selanjutnya diambil alih kepengurusannya oleh golongan yang sudah dewasa atau golongan pejabat. Oleh karena itu, kaum mudanya ingin membentuk organisasi pemuda Jawa.
Pada tanggal 7 Maret 1915 di dalam gedung STOVIA, lahirlah organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan bernama “Tri Koro Dharmo”, merupakan organisasi pemuda pertama yang sesungguhnya. Tri Koro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, berlambangkan “keris” yang bertuliskan “Sakti, Budi, Bakti”.
Asas Organisasi ini adalah sebagai berikut.
1. Menimbulkan pertalian antara murid-murid bumi putera pada sekolah menengah, dan kursus perguruan menengah (uitgebreid) dan sekolah vak.
2. Menambahkan pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya.
3. Membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan budaya Indonesia. (Sartono Kartodirjo, 1975: 195).
Para pendiri Tri Koro Dharmo adalah dr. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, Sunardi, dan beberapa pemuda lainnya yang semuanya berasal dari Jawa. Untuk sementara yang dapat diterima masuk menjadi anggota adalah para pemuda yang berasal dari Jawa dan Madura. Tujuan organisasi ini sebenarnya untuk mencapai Jawa-Raya, dengan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda Jawa, Sunda, Bali, dan Lombok. Namun mengingat semakin banyak pemuda yang berminat masuk menjadi anggota, bahkan tidak saja pemuda dari Jawa dan Madura, melainkan juga dai berbagai pulau di Indonesia ini, maka akhirnya Tri Koro Dharmo membuka kesempatan pemuda-pemuda dari berbagai pulau.
Dengan kesempatan yang diberikan oleh Tri Koro Dharmo tersebut, banyak pemuda dari Sumatera masuk menjadi anggota Tri Koro Dharmo. Walaupun hal tersebut hanya terjadi untuk sementara, memang saat itu masih diperlukan adanya semangat kedaerahan. Kalau Tri Koro Dharmo didorong oleh adanya semangat kedaerahan. Kalau Tri Koro Dharmo didorong oleh adanya organisasi pergerakan nasional pertama, yaitu Budi Utomo yang belum bergerak dalam bidang politik, tidak demikian halnya bagi para pemuda dari Sumatera yang ingin menonjolkan kedaerahannya bergerak di bidang social. Pada tanggal 9 Desember 1917, lahirlah organisasi pemuda dari Sumatera bernama “Jong Sumatranen Bond” . Di antara pemuda-pemuda dari Sumatera tersebut, yang lebih terkenal selanjutnya adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin. Kedua pemuda ini akhirnya terpilih sebagai pemimpin dalam organisasi pemuda itu.
Organisasi pemuda kedaerahan tersebut sangat hati-hati dan tidak cepat bergerak ke arah politik. Hal ini rupanya mengambil pelajaran dari organisasi-organisasi sebelumnya, yaitu Budi Utomo yang mengawali pergerakannya melalui bidang social-budaya, dapat selamat dari pengawasan pemerintah colonial. Sedangkan SI bergerak melalui bidang ekonomi dan meningkat ke bidang politik, mendapat pengawasan secara ketat oleh pemerintah, bahkan SI dicurigai. Pemerintah berusaha memecah belah persatuan SI tersebut. Selanjutnya organisasi yang lain, yaitu Indische Partij, dimana organisasi ini langsung bergerak dalam bidang politik. Pemerintah mengetahui persis bahwa Indische Partij bergerak dalam bidang politik, maka dengan cepat tidak diberi badan hokumnya. Bahkan ketiga pendirinya ditangkap dan dibuang ke negeri Belanda.
Dari pengalaman tersebut, maka organisasi pemuda lebih menitikberatkan semangat kedaerahan. Pada waktu itu sangat kedaerahan masih sangat diperlukan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa pergerakan untuk melawan penjajah tidak hanya dilakukan oleh pemuda jawa saja, tetapi juga daerah-daerah lain ada rasa tidak senang terhadap pemerintah colonial Belanda. Hanya dalam kesepakatan dan pengalaman dalam perjuangan, maka tidak lagi berjuang secara fisik, melainkan berjuang secara moral. Jadi tidak ada perang fisik, melainkan berjuang melalui semangat persatuan dan kesatuan yang dapat dibina melalui pendidikan. Oleh karena itu pemuda-pemuda harus sekolah untuk memperoleh kecerdasan dan menambah wawasan.
Dengan prinsip seperti tersebut diatas, maka pada tanggal 12 Juni 1918, nama Tri Koro Dharmo diubah namanya menjadi “jong Jwa”. Selanjutnya di ikuti pemuda-pemuda dari daerah lain, dengan mendirikina organisasi pemuda sesuai dengan asal nama daerahnya. Sehingga muncul organisasi pemuda : Jong Bataks bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Ambon, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Timoresche Jongeren Bond, dan lain-lain. Disamping pemuda-pemuda kedaerahan juga terdapat pemuda-pemuda yang bergerak dalam bidang agama. Dengan demikian, berdiri organisasi pemuda bernapaskan islam yaitu “Jong Islamieten Bond” pada tahun 1924, didirikan oleh R. Moh. Cahya didukung oleh H. Agus Salim. Untuk Jong Islamieten Bond ini, sebenarnya sudah melangkah ke arah politik, karena anggota-anggotanya sudah lebih dewasa dan bertujuan untuk “Persatuan Berdasarkan Islam” seperti yang diperjuangkan oleh Partai Sarekat Islam.
Sampai dengan berlangsungnya kongres pemuda pertama pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926, semangat kedaerahan tersebut masih dipertahankan secara kuat. Dampak dalam kongres tersebut belum menghasilkan kebulatan pendapat, terutama masalah fusi (penggabungan) organisasi pemuda menjadi satu wadah dan masalah “Bahasa Persatuan”. Juga langkah perjuangannya masih sangat hati-hati, dan belum berani melangkah keperjuangan dalam bidang politik. Dengan demikian, organisasi pemuda masih tetap bersifat kedaerahan dan jumlahnya cukup banyak. Dalam kongres pemuda pertama itu dibawah kepemimpinan Moh. Tabrani, sedang organisasi-organisasi pemuda akhirnya juga menghasilkan tokoh-tokoh terkenal, seperti Ir. Soekarno, Abdullah Sigit, Dr. Sukiman dari Jong Java, Amir Sjarifuddin dan Stg. Mulia dari Jong Batak, Moh. Hatta dan Moh. Yamin dari Jong Sumatranen Bond, Arnold Mononutu dari Jong Celebes, Samratulangi dari Jong Minahasa, Herman Johannes dari Tomoresche Jongeran Bond, Moh. Husni Thamrin dari Pemuda kaum Betawi, J. Leimena dari Jong Ambon, dan sebagainya.
Walaupun mereka ini, pada mulanyamasih mempertahankan sifat kedaerahan, namun ternyata pandangan ke depan cukup luas. Paham nasionalisme sebagaimana yang telah dikemukakan menurut Ernest Renan telah dipelajarinya. Oleh karena itu, mengenai kebulatan pendapat untuk pembentukan organisasi pemuda “Satu Wadah” dan yang bersifat nasional itu tinggal menunggu waktu saja.
Pada pemuda dari berbagai organisasi kedaerahan itu, mencoba untuk menggabungkan berbagai aspirasi dan pendapat, agar segala perbedaan suku, budaya (adat), kepercayaan maupun agama tidak menjadi permasalahan, maka dibentuklah “Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia” (PPPI) pada bulan September 1926 di Jakarta di bawah kepemimpinan Moh. Abdullah sigit. Pemikiran yang timbul dari PPPI itu, berhasil mendirikan wadah pemuda dalam satu organisasi. Yaitu “Jong Indonesia” terbentuk pada tanggal 20 Februari 1927 di bandung. Kemudian Jong Indonesia dalam kongresnya pada bulan Desember 1927 di Bandung. Bersepakat mengubah nama organisasinya menjadi “Pemuda Indonesia” dan panjinya berwarna “Merah Putih berkepala banteng”.
Adapun generasi 28 yang ditandai dengan tercetusnya “Sumpah Pemuda” dari hasil kongres pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. para pemuda dalam generasi ini sudah berani menggunakan pemikiran politik secara terbuka. Hal ini karena dipengaruhi oleh kejadian-kejadian sebelumnya, antara lain sebagai berikut.
1. Pemberontakan PKI yang gagal, mengakibatkan banyaknya para tokoh pergerakan nasional baik komunis maupun non komunis ditangkap, dipenjara, maupun dibunuh dan yang ditangkap tidak berani melakukan kegiatan, sehingga seolah-olah pergerakan nasional Vacuum ntuk sementara.
2. Munculnya pergerakan pemuda-pemuda yang bersifat kooperatif (mau berkerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda) yang tergabung dalam Indonesische Studieclub di bawah kepemimpinan Dr. Soetomo dan pemuda-pelajar yang bersifat non-kooperatif (tidak mau berkerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda) yang bergabung dalam Algemene studieclub di bawah kepemimpinan Ir. Sukarno. Pemuda-pemuda ini bergerak untuk mengisi kevakuman (kekosongan) sementara tersebut.
3. Banyaknya para anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang pulang dari negeri belanda, karena di Eropa merasa tidak aman dan dikejar-kejar oleh pemerintah di Nederlandsch, akibat pemberontakan PKI yang gagal pada tahun 1926. di samping itu, pulang karena sudah menyelesaikan studinya.
4. Berdirinya partai-partai politik yang melancarkan pergerakan melalui kooperatif dan non-kooperatif sejak tahun 1927.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut di atas, para pemuda memiliki wawasan politik kebangsaan secara luas. Masalah-masalah yang menjadi hambatan pada waktu kongres pemuda pertama diteliti kembali. Kebanyakan pemuda-pelajar yang tergabung dalam pergerakan dengan menempuh jalan kooperatif adalah para pemuda pelajar yang termasuk old elite (elite lama) mengikuti jejak Dr. Soetomo. Sedangkan para pemuda pelajar yang tergabung dalam pergerakan dengan menempuh jalan non-kooperatif adalah para pemuda pelajar yang termasuk new elite (elite baru) mengikuti jejak Ir. Soekarno. Namun meskipun tampak dua cara yang ditempuh pergerakan pemuda-pemuda itu, tujuannya tetap sama, yaitu ingin “Mencapai Indonesia Merdeka”.
Pergerakan pemuda pelajar tersebut tidak hanya dilakukan didalam negeri, tetapi juga dilakukan diluar negeri, bahkan ada dinegeri yang menjajahnya, yaitu di negeri Belanda. Pergerakan pemuda-pelajar di negeri Belanda itu bernama perhimpunan Indonesia yang sejak tahun 1926 dipimpin oleh Moh. Hatta. Para pemuda ini memiliki pengalaman secara internasional, karena seringnya mengikuti “Konfrensi Internasional” di Eropa untuk untuk menentang Imperialisme dan kolonialisme. Dari pengalaman inilah, merupakan modal yang sangatlah berharga untuk menunjang perjuangan dalam rangka mencapai Indonesia Merdeka. Dengan demikian, setelah kembali ketanah air dapat terpadu dengan cita-cita perjuangan nasional yang mengakibatkan pergerakan pemuda lebih mantap dan terarah.
Sementara itu, kesadaran nasional menjelang Sumpah Pemuda benar-benar tertanam di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini tampak jelas terutama para pemuda ada kecenderungan untuk meninggalkan sifat kedaerahan. Semua yang masih bersifat kedaerahan dengan rela dikesampingkan, agar tidak menimbulkan permasalahan dalam persidangan nanti. Dengan belajar dari Kongres Pemuda Pertama bahwa masalah kedaerahan ternyata menjadi ganjalan, karena masing-masing masih mempertahankan sifat kedaerahan itu sangat kuat. Pada saat ini, hal yang menjadi ganjalan itu disadari benar tidak menguntungkan. Oleh karena itu, dalam pembahasan untuk menuju persatuan dan kesatuan tidak mengalami kesulitan. Dengan ikhlas sifat kedaerahan ditinggalkan.
Masalah persiapan kongres, telah lama dibahas oleh berbagai wakil dan organisasi pemuda kedaerahan, yaitu PPPI, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks, Jong Islmiaten Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, Jong Minahasa, Pemuda Indonesia, dan Sebagainya. Akhirnya pada bulan Juni 1928, persiapan Kongres Pemuda Kedua telah tersusun.

C. Peranan Pendidikan
Sebelum pelaksanaan politik etis (1902), di Indonesia sudah ada pendidikan agama, adat maupun pendidikan non-formal, yang sifatnya masih tradisional dan menghasilkan orang-orang yang berwawasan sempit. Pendidikan semacam itu statis dan kurang berorientasi ke masa depan. Akibatnya tidak dapat mengikuti perkembangan zaman.
Pemerintah hindia Belanda sebelum tahun 1902, belum banyak memberikan pendidikan kepada orang-orang Indonesia. Pada waktu terjadi wabah penyakit di daerah Purwokerto, Banyumas tahun 1847, pemerintah Hindia Belanda mulai bergerak untuk mengadakan pemberantasan penyakit yang dinilai berbahaya. Penyakit yang sedang melanda di daerah Banyumas itu, termasuk penyakit manular (tifus, kolera, disentri, dan sebagainya), yang waktu itu masih sulit diobati dengan obat tradisional. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengikutsertakan para pemuda untuk melakukan pemberantasan penyakit tersebut. Namun para pemuda itu terlebih dahulu harus dibekali keterampilan dalam hal menyuntik. Diadakanlah kursus “Juru Suntik” secara cepat dan para lulusan kursus akan diangkat menjadi penyuluh kesehatan di daerah-daerah asal mereka masing-masing. Untuk didaerah Purwokerto-Banyumas itu, memang dijadikan sebagai tempat praktek awal. Setelah itu para penyuluh kesehatan terus ditugaskan di daerahnya masing-masing dan diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan di daerah Purwokerto tersebut, maka pemerintah Hindia-Belanda berusaha meningkatkan keterampilan para penyuluh kesehatan agar mempunyai ilmu tentang kedokteran. Mulailah direncanakan pendidikan kedokteran dengan system pendidikan 3 tahun. Untuk melaksanakan pendidikan tersebut dikeluarkan surat keputusan pemerintah nomor 3 tahun 1856 tertanggal 11 Mei 1856. Kepada para lulusan sekolah tersebut diberikan gelar dokter Jawa. Oleh karena itu sekolahnya disebut Sekolah Dokter Jawa.
Direktur sekolah dokter Jawa I adalah Dr. P. Bleeker (Opsir kesehatan kelas 1 Rumah sakit Militer weltewreden). Dia menjabat direktur dari tahun 1851 – 1860.
Syarat-syarat untuk diterima sebagai murid sekolah dokter jawa adalah sebagai berikut.
1. Pada prinsipnya masih sama dengan waktu menerima sebagai murid kursus juru suntik/juru kesehatan, yaitu pemuda jawa dari lingkungan keluarga baik-baik, bersopan santun, pandai berbahasa melayu, bias menulis dan membaca huruf jawa, dan berbakat.
2. Jumlah yang diterima sebanyak 30 orang pemuda, tetapi sejak tahun 1856 tidak hanya terdiri dari pemuda jawa, melainkan juga diterima pemuda dari luar jawa sebanyak 6 orang. Dengan demikian terkunci seperti dibawah ini :
- Pemuda jawa: 24 orang
- Pemuda sumatera barat : 2 orang
- Pemuda Minahasa : 2 orang
- Pemuda dari pulau lain : 2 orang (Hadisutjito, 1973:7).
Dengan persyaratan yang tercantum diatas, mutu lulusan sekolah dokter jawa, masih seperti juru suntik saja. Oleh karena itu, muncul berbagai saran atau usul-usul dari berbagai pihak, terutama dari kalangan dokter sendiri. Antara lain masalah : lama pendidikan harus ditambah, ujian praktik harus diadakan secara intensif dan sarana pendidikan harus ditambah, serta gedungnya diperluas dan terpisah dengan rumah sakit.
Usul tersebut dengan rinci disampaikan oleh para derektur sekolah dokter jawa, yaitu sejak dr. C. Eijkman (1888-1896) dan diteruskan oleh direktur berikutnya, yaitu dr. HF. Roll (1896-1899). Kemudian diterima oleh pemerintah hindia-Belanda, akhirnya dimulailah membangun gedung baru. Pembangunan dimulai pada tahun 1899, tetapi mengalami kemacetan karena kekurangan dana. Setelah ada bantuan dari pihak swasta, maka pembangunan baru dapat diteruskan sampai selesai. Pada saat pembangunan gedang sedang berjalan, nama sekolah dokter jawa juga mengalami perubahan nama, yaitu pada tahun 1900 berubah menjadi STOVA (school tot Opleiding van inlandsche Artsen). Adapun tempat pendidikan STOVIA masih berada di dalam rumah sakit militer Weltewreden. Baru tahun 1902 dilakukan pembukaan dan peresmian menempati gedung yang baru dibangun itu. Sebagai direktur STOVIA adalah dr. HF. Roll, yaitu dari tahun 1901-1908. Dengan demikian, pada saat lahirnya perkumpulan Budi Utomo dan juga sampai berlangsungnya Kongres Budi Utomo 1 tanggal 3-5 Oktober 1908, yang menjabat direktur STOVIA masih dr. HF. STOVIA untuk dipecat dari STOVIA, dr. HF. Roll masih bertindak sebagai pembela R. Soetomo dan berhasil meredam kemarahan para dosen tersebut. Sehingga R. Soetomo tidak berhasil dikeluarkan dari STOVIA.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan diterapkannya pendidikan system Barat. Baik sejak Sekolah Dokter Jawa (1856) sampai dengan STOVIA (1908), peranan pendidikan cukup besar. Dari lulusan Sekolah Dokter Jawa, seperti dr. Wahidin Soediro Husodo mencetuskan studiefonds (dana pendidikan) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian dari para pelajar STOVIA di bawah kepemimpinan R. Soetomo berhasil mendirikan organisasi pergerakan nasional pertama, yaitu “Budi Utomo”. Itu semua sangat positif dalam perjuangan untuk mencapai cita-cita nasional. Dalam kenyataan setelah Budi Utomo berdiri, tidak lama kemudian berdiri pula organisasi nasional lainnya yang mengikuti jejak dan cara berorganisasi seperti budi Utomo itu.
Pihak pemerintah Hindia-Belanda,sejak awal telah memperhitungkan dampak dari penerapan pendidikan system Barat di negeri jajahan. Dengan sangat hati-hati, diskriminasi dan sangat selektif pendidikan itu diberikan kepada rakyat Indonesia. Hanya anak golongan bangsawan dan Belanda keturunan, serta anak-anak keturunan Timur Asing (Cina dan Arab) yang mendapatkan pendidikan system barat. Namun demikian, walaupun hanya sebagian kecil rakyat Indonesia yang mendapatkan pendidikan system barat, ternyata menghasilkan kaum elite-intelektual. Kaum elite-intelektual ini banyak yang memiliki rasa kesadaran nasional, harga diri, dan wawasan luas inilah benih-benih pergerakan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka. Makin tahun kaum elite-intelektual itu makin bertambah banyak, sehingga menimbulkan pergerakan nasional yang mantap.
Disadari atau tidak, sebenarnya muncul kaum elite-intelektual itu, ditimbulkan oleh kaum liberalisme Belanda yang dengan gigih memperjuangkan perbaikan taraf hidup rakyat di negeri jajahan, sebagai “balas jasa”, karena dinilainya bahwa rakyat di negeri jajahan telah mendatangkan keuntungan yang sangat banyak dalam pelaksanaan Cultuur Stelsel (tanam paksa) sejak tahun 1837 – 1900. Keuntungan yang sangat banyak itu harus dibalas dengan “balas budi”. Setiap persidangan di parlemen, hal tersebut terus diperdebatkan antara pihak pemerintah di Nederlandsch dengan kaum liberal Belanda, seperti: Van Dedem, Van Kol, van Deventer, dan Brooschooft. Ternyata dalam persidangan pada akhir tahun 1900, kaum liberal itu memperoleh suatu kemenangan. Akhrinya berhasillah usaha akan memperbaiki rakyat Indonesia itu, dengan diberi nama “Politik Etis (Balas Budi)”. Dalam trilogy politik etis, disebutkan 3 bidang, yaitu irigasi (pengairan), migrasi (pemindahan penduduk), dan edukasi (pendidikan). Dari 3 bidang itu, hanya bidang edukasi (pedidikan) yang sangat bermanfaat bagi rakyar Indonesia.
Politik etis dilaksanakan pada tahun 1902, sehingga sejak tahun tersebut para pemuda Indonesia semakin banyak yang mendapatkan pendidikan system Barat. Tidak hanya di bidang kedokteran yang diberikan pendidikan system barat, melainkan juga pengetahuan umum (ilmu bumi, sejarah, dan sebagainya) diberikan dalam pendidikan tersebut. Walaupun pelaksanaannya tetap diskriminatif dan selektif, tetapi dampak pendidikan tersebut sangat positif bagi rakyat Indonesia. Wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air semakin mendalam, sehingga mudah terjalin rasa persatuan dan kesatuan.
Namun sejalan dengan perkembangan politik internasioanal. Hal ini disebabkandengan adanya Revolusi Rusia tahun 1917, di mana kaum komunis mendapat kemenangan. Akibat dari politik internasional itu, maka orang-orang SI yang telah memperoleh didikan sneevliet, ingin memasukkan ajaran komunis kedalam sekolah-sekolah sarekat kena pengaruh komunis, bekerja keras untuk menanamkan ajaran komunis di Indonesia. Dengan demikian mulailah terjadi perpecahan di kalangan SI. Tidak hanya SI pimpinan HOS. Cokrominoto saja yang menentang gerakan komunis tersebut, melainkan juga organisasi-organisasi lain, seperti Budi Utomo, inulinde, SDAP (Hindia Belanda) dari SI putih, menentangnya. Golongan yang menentang itu, mendesak kepada pemerintah kolonial Belanda untuk jenderal van Limbing mendesak pemerintah kolonial Belanda untuk menggantikan volkstraad dengan parlemen pilihan rakyat. Gubernur jenderal van limburg Strum, menanggapi desakan itu dengan mengeluarkan “Janji Bulan November”(November-Belofte) pada tanggal 18 November 1918. isinya merupakan janji pemerintah belanda untuk mengadakan perubahan-perubahan bagi rakyat Hindia-Belanda secara luas.
Dengan keluarnya janji tersebut, suasana dinegeri jajahan dapat dikendalikan. Akhirnya pemerintah mengambil tindakan secara tegas, yakni penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat gerakan komunis, baik orang belanda sendiri maupun orang-orang Indonesia. Tetapi orang-orang Indonesia banyak yang diusir , termasuk Sneevliet dan kawan-kawannya. Dengan demikian, boleh dikatakan gerakan kaum sosialis atau komunis pada akhir tahun 1918 yang ada di Indonesia mengalami depresi. Peranan golongan Eropa di dalam ISDV menjadi berkurang, akhirnya muncul aktivis-aktivis orang-orang Indonesia, yang mengambil alih menjadi pemimpin ISDV. Mereka itu antara lain Semaun, Darsono, dan Alimin.
Sejak pengambilalihan kepemimpinan ISDV tersebut, maka gerakan komunis mulai dapat bangkit kembali, terutama dalam bidang pendidikan. Melalui bidang pendidikan ini, kaum komunis sangat pandai memasukkan paham komunis. Terlebih lagi dengan seorang guru yang berpaham komunis, yaitu Tan Malaka pada bulan Februari 1921 datang di Batavia (jakarta). Tan Malaka adalah seorang guru sekolah yang diadakan oleh sebuah perusahaan bernama Deli dan Snembah Maatschappij di Fort de kock (bukittinggi).
Tan malaka kemudian pergi ke Yoga dan bertemu dengan R. Sutopo (redaktur kepala surat kabar Budi Utomo). Di kota Yogya Tan Malaka ditawari untuk memimpin sekolah yang akan didirikan oleh R. Sutopo itu. Di kota itu pula Tan Malaka berjumpa dengan para tokoh SI yang sedang mengadakan kongres organisasi tersebut. Antara lain ialah HOS. Cokrominoto, Semaun, dan Darsono. Oleh Semaun, Tan Malaka ditawari untuk memimpin sekolah khusus anak-anak anggota SI di Semarang. Tawaran ini diterimanya, sehingga dimulailah persiapan untuk mendirikan sekolah tersebut. Dengan cepat dukungan dari Ny. Sneevliet yang kebetulan masih berada di Semarang. Dalam waktu singkat sudah tercatat murid sebanyak 50 orang dan sejumlah buku-buku untuk bahan pendidikan setelah sekolah SI dapat berjalan dengan baik, maka didaerah-daerah lain juga berdiri sekolah-sekolah SI sebagai cabangnya. Namun ternyata ada reaksi dari residen Semarang dan melaporkan kepada Gubernur jenderal, bahwa sekolah itu didirikan “atas dasar komunistis” (Sartono kartodirjo, 1975: 264).
Sejak itu mulailah sekolah SI mengalami kesulitan untuk mendapatkan bantuan. Usaha untuk mengadakan “malam derma” dihalang-halang. Akan tetapi, pihak pemimpin sekolah tidak kehilangan akal. Murid-muridnya dibekali surat untuk meminta sumbangan kepada masyarakat di sekitarnya. Mereka keluar kampong masuk kampong dengan “baju putih berselempang merah” yang bertuliskan “rasa kemerdekaan”. Dengan demikian, bantuan dari masyarakat dapat diperolehnya dengan lancer. Hanya dalam beberapa bulan saja bantuan telah terkumpul dan jumlah muridnya telah bertampah menjadi 120 orang. Dengan demikian, dapat dapat dicatat bahwa sekolah tersebut mengambil langkah non-koperasi dan anak-anak menurut dunia anak-anak sendiri, serta dilatih keberanian berbicara dan rasa kemerdekaan. Dengan demikian, berarti anak-anak Bumi Putera dapat mengerti tentang kewajibannya untuk membela kaum proletar dan rasa belas kasihan terhadap kaum terhina.
Apabila diperhatikan tentang tujuan sekolah SI pimpinan Tan malaka tersebut, memang semata-mata untuk menghadapi kaum penjajah dan itu tujuan utama, namun kurang memperhatikan dasar-dasar agama islam, sehingga mudah timbul keretakan dari dalam tubuh SI sendiri, itulah sebabnya, meskipun sekolah SI telah berkembang pesat, akhirnya mengalami perpecahan juga, sehingga bubat seiring dengan pecahnya organisasi SI (1924). Sejak itu sekolah-sekolah SI menjadi sekolah rakyat.
Di samping sekolah SI yang menyelenggarakan pendidikan bersifat non-kooperatif, juga ada sekolah lain yang nn-kooperatif, yaitu perguruan taman siswa, pendidikan INS (Indonesisch Nederlandsche School), dan perguruan rakyat penyelenggaraan pendidikan ini dilakukan oleh pihak swasta, yang sengaja sesuatunya dibiayai sendiri. Tujuan dari pendidikan ini hamper sama, yaitu mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran, dan berkerja merdeka di dalam batas-batas tujuan mencapai tertib-damainya hidup bersama. Hal ini berarti terkandung suatu dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri.(sartono kartodirdjo, 1975 : 251).
Taman siswa berdiri pada tanggal 3 juli 1922 di yogyakarta, dan berdirinya bernama R.M. suardi suryaningrat. Taman siswa ini termasuk pergerakan nasional dalam bidang pendidikan, yang sangan mementingkan kebudayaan nasional. Berbeda dengan pujangga baru yang menganjurkan menuju ke barat, karena kebudayaan berjiwa dinamis, kemampuan, kreatif, dan inisiatif. Sedangkan menurut penganut Taman siswa bahwa berpegang pada filsafat hidup nasional itu ternyata sudah berjiwa universal. Hal ini dikemukakan oleh S. Mangunsarkoro dan diperkuat oleh W.F. Werthenim dalam analisisnya Cultur Dynamich in Indonesia (Dinamik Budaya di Indonesia).
Dalam pendidikan INS yang didirikan oleh Moh. Sjafey pada tanggal 31 Oktober 1926 di dikayutanam, Sumatra Barat, mengemukakan bahwa pengajaran pemerintah Hindia Belanda bercorak belah sebelah, yang hanya mementingkan kecerdasan saja. Peraktik pendidikan dan pengajaran pada waktu itu kurang atau sama sekali tidak memperhatikan perkembangan rasa, kecakapan, dan ketangkasan. Mata pelajaran ekspresi (menggambar, menyanyi, bahasa, dan kerja tangan)tidak diperhatikan. Menurut Moh.sjafei, mata pelajaran ekspresi itu sangat penting, hal ini sesuai dengan semboyan: Hoofd, Hart,et Hand (kepala, hati, dan tangan). Memang ada perbedaan dengan Taman Siswa, bahwa dalam pendidikan INS masalah “budaya nasional tidak begitu ditonjolkan”. Dalam pelaksanaan pengajaran, harus semuanya praktis dari rakyat untuk rakyat.
Adapun pendidikan dalam perguruan Rakyat yang merupakan golongan dari dua perkumpulan, yaitu pustaka kita dengan pimpinan Mr. sunario dan Arnol. Momonutu W. tahun 1928 dan perhimpunan untuk belajar dipimpin Sudarmoatmojo dan Thalib. Perguruan rakyat berdiri pada tanggal 11 Desember 1928 di Jakarta. Tujuannya telah dirumuskan dalam beberapa sendi perguruan rakyat, yang tersusun jelas. Disamping ada kesamaan pandangan dengan prinsip Taman Siswa dan pendidikan INS, tetapi ada cirri khas tersendiri, yaitu bahwa pendidikan itu dalam orientasinya lebih bercorak sosiologis dari pada condong ke filsafat metafisisnya. Sedangkan dalam pendidikan Taman Siawa, terasa filsafat hidup lebih diutamakan. Namun demikian hubungan perguruan rakyat dengan Taman siawa tetap berjalan baik. Karena pada prinsip-prinsip yang bersamaan, yaitu úsaha menghubungkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa Indonesia, untuk berperasaan dan berpikir guna menjawab masalah-masalah yang nyata dihadapi oleh masyarakatnya”.
Jadi peranan pendidikan non-kooperasi, tetap bertujuan untuk membekali rakyat Indonesia kea rah tercapainya cita-cita nasional, yaitu Indonesia merdeka. Wawasan kebangsaan, harga diri, dan rasa kesadaran nasional akan timbul, apabila masyarakat telah terdidik dengan baik. Paham sebagaimana yang telah dimunculkan dalam perang kemerdekaan Amerika (1776) dan Revolusi perancis (1789), dalam bentuk human rights dan liberalisme, telah dipahami secara jelas, lebih menetapkan perjuangan untuk mendapai cita-cita nasional tersebut.
Begitu pula pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak swasta yang menempuh sikap kooperasi, antara lain melalui perguruan Muhammadiyah dan nahdatul ulama (NU), walaupun bergerak dalam bidang social dan pendidikan, yang berlandaskan islam, namun tetap mengarah kepada kehidupan bangsa untuk mencapai Indonesia merdeka. Dengan demikian, peranan pendidikan sangat positif dalam perjuangan untuk mencapai cita-cita nasional.
Perlu menjadi suatu catatan, bahwa pendidikan pada masa kolonial belanda, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda maupun swasta, menghasilkan para ilmuan (cendekiawan) dan kemudian tidak sedikit yang tampil sebagai kaum pergerakan nasional. Seperti: dr. wahidin sudirohusodo, dr. sutomo, dr, cipto mangunkusumo, H. Agus Salim, Ir. Sukarno, Drs.Moh Hatta, Mr. Moh Yamin, Mr. sunario, Ki Hajar Dewantoro, dan lain-lain, semuanya hasil pendidikan zaman kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut memiliki kemampuan ilmiah dan berwawasan kebangsaan yang mantap.
Namun, untuk perjuangan secara fisik, tidak mendapat bekal sama sekali. Oleh karena itu, pada saat terjadi transisi (peralihan) kekuasaan penjajahan Belanda ke penjajahan jepang (1942), bangsa Indonesia tidak berani mengambil alih kekuasaan disebabkan tidak mempunyai modal organisasi perjuangan secara fisik. Hal tersebut sangat berbeda dengan masa transisi pada saat jepang menyerah kalah terhadap sekutu, tanggal 14 Agustus 1945.
Pada saat tersebut, bangsa Indonesia berani mengambil sikap secara tegas memanfaatkan memontum yang sangat tepat. Momentum tersebut digunakan untuk memproses “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”. Walaupun terjadi perbedaan pendapat antara kaum pergerakan nasional (Kaum tua) dengan kaum muda. Pihak kaum tua (PPKI= Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ingin menyelengarakan proklamasi kemerdekaan indonesia atas pesan marsekal Terauce (Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara yang berkedudukan di Saigon - indo China), sedangkan dari pihak kaum muda, menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa Indonesia sendiri, bukan bantuan jepang. Akhirnya, perbedaan pendapat tersebut terjadi titik temu dan berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia atas usaha bangsa Indonesia sendiri tanggal 17 Agustua 1945.
Keberanian mengamil sikap secara tegas dan tepat itu karena telah diperhitungkan segala resiko apa pun yang akan terjadi. Apabila terjadi tindakan fisik dari tentara jepang, sudah pasti akan dihadapi secara fisik pula. Hal tersebut disebabkan, karena bangsa Indonesia telah memiliki modal perjuangan secara fisik, yaitu pendidikan kemiliteran yang diberikan oleh jepang sendiri. Baik muda, tua, dan wanitanya, telah banyak yang dididik kemiliteran.di samping itu, organisasi-organisasi perjuangan juga telah berdiri dan siap untuk digerakkan. Sehingga jelas bahwa pada masa pendudukan bala tentara jepang, pendidikan yang diberikan dititik beratkan kepada pendidikan militer. Inilah modal bangsa Indonesia dalam perjuangan secara fisik. Pada masa penjajahan Belanda, tidak ada sama sekali pendidikan kemiliteran itu. Namun pendidikan ilmiah pada masa penjajahan Belanda bermutu tinggi, sedangkan pendidikan ilmiah pada masa penjajahan jepang bermutu rendah. Jepang hanya semata-mata mempersiapkan tenaga-tenaga untuk kepentingan perangnya menghadapi sekutu. Oleh karena itu, pendidikan pada masa penjajahan jepang hanya bersifat pendidikan militer. Inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia berani mengambil sikap pada masa transisi tersebut.

D. Gerakan Dalam Variabel Yang Lebih Luas
Tipe gerakan di atas, sebetulnya lebih menunjuk kepada kenampakan langsung dari gerakan, dan belum memasukan berbagai aspek atau variable lain yang turut ambil bagian. Dengan mengembangkan beberapa variable penting, seperti:
1. Cara pandang terhadap masalah (bagaimana masalah dipahami);
2. Tujuan (apa dan kndisi bagaimana yang hendak dicapai);
3. Strategi, taktik dan teknik (rumusan mengenai cara untuk mmencapai tujuan);
4. Program (bentuk-bentuk aksi kongrit yang dilakukan).
Dalam kerangka ini, suatu gerakan social tidak terlalu harus dipahami bentuk-bentuk resistensi dari kelompok-kelompok social yang ada di masyarakat, tetapi dapat pula merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh kekuasaan (negara) atau penguasa, dalam rangka mempertahankan atau memperkokoh kekuasaannya. Berdasarkan variable ini, dapat dibedakan tiga model, lihat table 2.
Model ini tentu saja tidak kaku dan baku. Model ini merupakan suatu bentuk pendekatan untuk memahami kompleksitas gerak social, dalam kenyataan, gerakan social, dari banyak segi, lebih banyak merupakan realitas tersembunyi, khususnya gerakan-gerakan radikal, ataupun yang menggunakan kekuatan bersenjata sebagai alat perjuangan. Gerakan dengan metode kekerasan dapat dipandang sebagai wujud gerakan dengan cara pandang hitam putih, kalah menang, dan demikian berlaku suatu prinsip: menang atau dikalahkan. Oleh sebab itu, kerahasiaan menjadi bagian dari kekuatan.
Hal lain yang patut dipahami bahwa pada tingkat praktis,bentuk-bentuk aksi atau program aksi suatu gerakan, tidak selalu mewakili pilihan bentuk, sebab biasa saja suatu model tertentu menggunakan bentuk aksi yang menjadi cirri model yang lain, dimana penggunaan bentuk aksi (tindakan) tersebut, menjadi bagian dari taktik untuk lebih mengembangkan gerakan.
Manakah dari masing-masing tipe tersebut, yang dapat dipandang sebagai tipe ideal dari suatu gerakan? Masalah ini tidak mudah untuk dijawab, sebab masing-masing mewakili suatu pandangan dan kepentingan. Masing-merupakan modal gerakan dengan titik berangkat, model atau tujuan yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa dalam kenyataan, sangat mungkin masing-masing model saling berkompetisi atau bahkan saling berhadap-hadapan: sebagai lawan berseteru. Penentuan model merupakan proses sejarah dan proses perjuangan (lihat tabel 2).
Hendak ditekankan disini bahwa pilihan model bukan suatu pilihan layaknya memilih menu makanan atau model baju, melainkan suatu yang berkait dengan prinsip dasar dan nilai-nilai yang dianut. Oleh sebab itu tidak ada yang lebih baik satu sama lain. Kesemuanya bisa saling kritik, saling serang, saling menjatuhkan. Pada akhirnya sejarah yang akan menentukan atau yang menjadi hakim, apakah perubahan yang dibawa benar-benar yang dibawa manfaat pada kehidupan rakyat ataukah tidak. Gerakan adalah proses.

Tabel 2 :
Tipe Gerakan Dalam Beberapa Variabel
Variable
Cara pandangan masalah Nasib kurang kemampuan menjawab masalah Jumlah penduduk; Nilai tradisional; pembangunan kurang pas Ketidak adilan yang diakibatkan oleh struktur; Hegemoni dan dominasi
Tujuan Mengurangi penderitaan; mengintegrasi. Memperbaiki fungsi-fungsi; mengubah nilai-nilai lama Mengubah ketidak adilan menjadi lebih, baik dan bermakna.
Strategi dan taktik Melibatkan masyarakat (mobilisasi) konsensus Melakukan pengumpulan bukti-bukti; consensus konflik. Kristalisasi, pengorganisasian untuk “melawan”; konflik.
Bentuk aksi kongkrit. Bantuan ekonomi Bantuan hokum; pelatihan keterampilan Penyadaran; ekonomi baru; agrarian reform

E. Karakter Gerakan
Setiap gerakan yang memaksudkan mengadakan perubahan mendasar, tentu saja akan berhadapan dengan (1) system dan (2) penjaga system (aparat penjaga dan pihak di luar yang setuju dengan system, atau setidak-tidaknya menghendaki agar status quo tetap berjalan). Kekuatan gerakan pada gilirannya akan sampai pada suatu kondisi berhadap-hadapan. Konsep ini berlaku sangat umum. Jika ditinjau hubungan dinamis antara Negara dan rakyat, maka bisa saja berupa hadap-hadapan anara rakyat vs Negara pro perubahan vs status quo, atau status quo vs pro perubahan. Meskipun dalam kenyataan terdapat banyak yang terlibat dalam proses perubahan, namun pada satu titik tertentu akan terjadi semacam pengerucutan, sehingga yang tersisa hanyalah dua kelompok tersebut . cerita tentang detik-detik penggulingan penguasa lalim, selalu menunjukkan fakta tersebut.
Dalam situasi yang demikian, akan terjadi beberapa kemungkinan: pertama, kekuatan pembaru lebih kecil (lemah) dibandingkan dengan kekuatan status quo; Kedua, kekeatan berimang (relative sama); dan Ketiga, kekuatan pembaharuan lebih besar (kuat) dibandingkan dengan kekuatan status quo. Jika yang terjadi adalah kondisi ketiga, maka dengan sendirinya gerebang perubahan terbuka lebar. Kekuatan pembaharu tidak perlu bersusah payah. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan kasus ini, dimana orang tua ketika berhadapan dengan anaknya tidak perlu bersiasat terlalu rumit, sebab posisi orang tua yang dominant membuat apa yang dikehendaki akan bisa dituruti oleh sang anak, kecuali bila posisi anak kuat.seorang petinju kelas berat sudah tentu tidak perlu mengatur siasat bila berhadapan dengan petinju kelas bulu, atau seorang biasa yang berbadan kecil. Siasat diperlukan bila berhadapan dengan lawan yang seimbang atau lebih kuat. Bagi yang lebih kuat, biasanya dipilih jalan hadap langsung sebagai langkah untuk mendesakkan perubahan. Siasat merupakan milik (alat) dari pihak yang lemah.
Sebaliknya. Jika yang terjadi adalah kondisi yang pertama, maka tugas dari kekuatan pembaharuan untuk merumuskan strategi yang dapat memenangkan “pertarungan” meskipun dalam kondisi lemah (baca: lebih lemah dari kekuatan yang tidak menghendaki perubahan). Siasat yang dikembangkan sudah tentu sangat ditentukan oleh kondisi obyektif dan kondisi subyektif dari masing-masing pihak. Bagi pihak yang menghendaki perubahan, terdapat dua kemungkinan utama, yakni menggunakan jalan kooperatif atau non kooperatif. Untuk jalan yang kedua, masih terdapat kemungkinan lain, yakni menggunakan metode kekerasan atau pantang kekerasan. Untuk masalah lain, akan dibahas lebih khusus pada bagian ain.

F. Tahap Gerakan
Suatu gerakan yang dapat bersifat spontan, terencana, tentu saja memiliki sejumlah tahap yang dilalui. Tahap yang dimaksudkan disini, tentu saja tidak perlu dilihat sebagai langkah-langkah yang bersifat mekanistik, yang berturut dan merupakan fungsi waktu, melainkan tahap yang dialektis (bergantung kepada situasi dan perkembangan social yang ada). Pengalaman dari berbagai gerakan yang pernah berkembang di banyak negeri, dapat dipastikan membangun tahap-tahap perkembangan tersendiri dank khas. Namun dalam kerangka umum, kiranya dapat di pahami tahap-tahap berikut:
- Pertama, suatu fase yang disebut dengan proses perumusan persoalan sampai akhirnya membentuk semacam “ideologi” atau cita-cita perubahan. Aspek yang terumuskan antara lain: apa yang akan diubah, apa yang akan dilakukan dan kemana arah perubahan tersebut (tujuan yang ingin dicapai). Perumusan ideology gerakan, sungguh bukan pekerjaan akademik, melainkan menjadi bagian dari upaya kea rah perubahan itu sendiri. Penting pula disadari bahwa pekerjaan perumusan tersebut, membutuhkan data akurat, yang pada akan sangat menentukan apakah masalah yang ada dipahami secara benar ataukah tidak. Perumusan ideology terkadang merupakan proses panjang dan senantiasa bergerak. Pekerjaan ini tidak perlu dibayangkan sebagai pekerjaan dalam satu waktu.
- Kedua, inti dari gerakan pada dasarnya adalah suatu daya ubah, atau daya dorongnya bagi kelangsungan suatu perubahan. Dengan demikian gerakan membutuhkan kekuatan. Maka pada tahap selanjutnya, diperlukan proses pengembangan, perekrutan, atau pencarian anggota, simpatisan atau mereka yang ingin ikut memikul beban dalam mewujudkan cita-cita perubahan yang ingin dicapai. Sejalan dengan usaha perekrutan tersebut, organisasi gerakan dibentuk, dengan tahapan yang sistematik (dimulai dari kelompok kecil, komite, sampai pada pembentukan organisasi dan jaringan kerja yang lebih luas). Gerak maju gerakan akan sangat ditentukan oleh kapasitas dan kualitas organisasi yang terbentuk.
- Ketiga, suatu proses pengembangan selanjutnya, dimana gerakan akan menghadapkan ideology perubahan (ideology gerakan) dengan ideology lawan (koservatisme). Dalam tahap ini, gerakan akan menghadapi situasi yang dinamik (penuh dengan kontadiksi). Kemampuan untuk mengatasi ideology lawan, akan menjadi indikasi apakah gerakan akan mencapai titik yang dituju, atau akan memetik kegagalan. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa gerakan selain menghadapi kekuatan “lawan”, juga akan berhadapan dengan (1) Publik yang menjadi bagian atau pengikut ideology lawan; dan (2) mereka yang sebetulnya menjadi partisipan, akan tetapi tidak menunjukan suatu kualitas yang mendukung gerakan secara nyata. Tugas dari gerakan adalah mengubah “public lawan” menjadi partisipan, dan mendorong partisipan pasif menjadi kekuatan aktif pendukung gerak maju gerakan.
- Keempat, merupakan tahap “konsulidasi” atau pelestarian hasil capaian. Dalam konteks tertentu, tahap ini memuat pula apa yang disebut sebagai “eliminasi” bagian dari gerakan yang dianggap tidak patuh atau berpotensi mengurangi (mendistorsi) makna/pencapaian gerakan. Suatu gerakan demokrasi, sebagai contoh, pada fase ini berarti memasuki suatu tahap dimana rejim lama telah berhasil ditumbangkan, dan proses konsolidasi untuk membangun tantanan bersendi demokrasi segera dimulai. Banyak kasus yang memperlihatkan bahwa proses konsolidasi tersebut tidak bisa berjalan mulus, sebab (1) masih adanya kekuatan lama yang bercokol; dan (2) dinamika dikalangan penggerak demokrasi, yang masih menganggap proses masih harus dijalankan, khususnya untuk “melumatkan” seluruh potensi masa lalu.
Tahap-tahap yang dimaksudkan disini sudah tentumerupakan kategori yang bersifat normative. Kenyataan gerakan sudah tentu memiliki kompleksitas yang tidak terdeteksi dan sulit untuk dipahami, kecuali oleh mereka yang langsung terlibat dalam proses-proses perubahan. Dinamika gerakan sangat mungkin tidak berjalan dalam urutan tahap diatas, melainkan bisa berjalan secara dinamis dan dialektis.
Barangkali cara tatanan berkembang dapat dijadikan ilustrasi untuk bisa menggambarkan proses tumbuh suatu gerakan. Sebatang pohon tentu tidak menyelesaikan tugas membuat akar lebih dahulu baru menciptakan batang dan daun, melainkan bergerak berseiring. Melainkan akar menunjam kedalam tanah, semakin lebat daun, semakin lebat daun semakin akar menggali makanan.
Dengan demikian, setiap gerakan sudah tentu memiliki dan membangun sejarahnya sendiri, yang tidak harus linear dan pasti. Bahkan bisa tidak linear, tidak terduga, akan tetap bisa meraih tujuan dengan sukses. Tahap tersebut dapat dipandang sebagai arena-arena, tempat dimana pertarungan akan berlangsung. Kemenangan di setiap arena akan menjadi modal besar untuk mencapai kemenangan puncak.

G. Momentum Gerakan.
Kapan suatu gerakan harus muncul atau memuat langkah pertama? Kapan suatu gerakan melancarkan aksi untuk mendesakkan perubahan? Selama ini terdapat suatu pendapat yang dikemukan oleh kalangan ahli bahwa perubahan mendasar akan berlangsung bila tersedia tiga syarat: Pertama, adanya ideology alternative. Kedua, adanya organisasi yang kuat, menjadi penopang, dan memiliki kemampuan mengorganisasi dukungan rakyat. Dan kegita, momentum yang tepat. Jika demikian, kapan suatu masyarakat akan bisa bergerak menggapai perubahan?
Perjalanan sejarah bangsa-bangsa di Asia Timur dalam mengusir kekuatan kolonial, sesungguhnya memberikan pelajaran yang sangat penting, dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Bila dilihat dari kurun akhir abad XIX sampai pertengahan abad XX dapat dikatakan ketiga syarat tersebut, masih belum tersedia, sebagaimana hidangan di meja makan. Para aktivitas gerakan pembebasan nasional menyatakan bahwa kalau menunggu semua rakyat sadar politik, maka kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah bisa dicapai, karena selain waktu yang dibutuhkan sangat panjang, juga kemampuan untuk menyadarkan rakyat melalui pendidikan amat terbatas. Di sinilah cara berpikir mekanistik ditinggalkan. Kalangan aktivis pergerakan tidak melihat adanya keharusan untuk menyiapkan satu persatu secara berurutan, tetapi masing-masing saling dorong-mendorong, dan saling memperkuat.
Kapan momentum yang tepat? Pertanyaan ini menjadi tidak relevan, sebab yang patut dipertanyakan adalah bagaimana agar lahir (terbentuk) suatu momentum yang tepat? Pertanyaan ini sekaligus menepis habis syarat-syarat bagi suatu perubahan akan datang dengan sendirinya sejalan dengan gerak waktu. Karena itu pula, permulaan suatu gerakan social, tidak tertentukan secara matematis, dan oleh siapa saja. Tidak ada tempat yang special, sebab dalam struktur yang tidak adil, setiap jengkal tanah menyimpan potensi konflik yang mendalam, dan berujung kepada struktur. Sudah barang tentu, gerakan social yang dimaksud tidak mungkin merupakan suatu gerakan yang secara spontan memiliki bobot dan skala yang besar, melainkan akan bergerak dari kecil, menuju besar, setahap, atau meloncat bila terjadi perubahan yang drastis.

H. Ciri dan Syarat Keberhasilan
Apa yang harus dipersiapkan agar gerakan selamat sampai kepada tujuan yang hendak dicapainya. Hal ini bisa dijawab dengan mengembalikan prinsip dasar dari gerakan yang tidak lain dari suatu upaya untuk membangun kekuatan. Maka, gerakan berkeinginan untuk bisa mencapai titik akhir dengan senyum keberhasilan, dengan sendirinya kekuatan yang dimilikina harus mengingat dari waktu ke waktu dan bukan sebaliknya. Dengan prinsip ini dapat disebutkan beberapa cirri dan syarat yang dimaksud.
- Pertama, gerakan tidak membiarkan dirinya dalam situasi stagnan. Upaya untuk memperkembangkan terus dihidupkan. Gerakan tau elemen gerakan tidak perlu menjadikan dirinya sebagai benda mati, tetapi harus bisa menciptakan kehidupan nagi gerakannya. Dengan demikian, tubuh gerakan tidak akan dibiarkan tidak berkembang, melainkan terus-menerus diperkembangkan, dirawat dan dipertahankan dari segala macam kemungkinan yang membuat tubuh gerakan menjadi lemah.
- Kedua, membutuhkan dukungan organisasi yang kuat dengan organisasi kerjs yang luas (pada seemua level dan skala). Jaringan kelompok atau jaringan pendukung akan sangat menentukan perolehan keberhasilan suatu gerakan. Kekuatan eksternal tersebut akan menjadi bagian penting dalam “menekan” atau mencapai hasil-hasil yang diinginkan.
- Ketiga, pengalaman dalam kelompok-kelompok pergerakan menegaskan tentu perlunya kedisiplinan dalam proses perekutan, agar pendukung gerakan adalah mereka yang benar-benar memaknai “ideology gerakan” (baca kelompok lawan) yang mengusap.
- Keempat, mengembangkan sistem perekutan yang tiada mengenal berhenti terus menerus memperluas partisipan (lihat dibagian pengorganisasian). Dalam hal ini organisasi gerakan harus senantiasa mengembangkan mesin kaderisasi, ekspansi atau perluasan yang tidak pernah berhenti. Proses ini tidak lepas dari anggapan bahwa mereka yang seekor buaya yang bersembunyi dibalik semak, yang sewaktu-waktu bisa menerkam mangsanya. Gerakan harus terus waspada, dan karena itu agensa untuk mempertahankan dan meningkatkan kekuatan menjadi mutlak.
- Kelima, pada gilirannya suatu kekuatan gerakan perlu mengembangkan atribut tersendiri, baik dalam rangka untuk memperkuat (memantapkan konsolidasi), juga menjadi semacam rekat social bagi para partisipan. Sudah tentu atribut disini tidak dimaksudkan untuk menjadi semacam bius, melainkan sebagai wahana untuk lebih mengintegrasikan setiap unsure didalam gerakan.
- Keenam, pada umumnya, proses pencapaian tujuan tidak berjalan cepat, tetapi kerapkali memakan waktu hingga beberapa dasawarsa. Dalam konteks inilah gerakan perlu membuat rumusan yang lebih jelas mengenai masa depan yang dituju, sehingga setiap partisipan dapat menangkap dengan jelas kearah mana energi mereka hendak ditujukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar