Minggu, 18 Oktober 2009

Ke NW aN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuan Guru Kyai H.Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dilahirkan di Kampung Bermi, desa Pancor, Kabupaten Lombok Timur, pada hari Rabu tanggal 17 Rabi’ul Awwal 1326 H. (1904 M). Semasa kecilnya ia bernama Muhammad Syagaf, yaitu putera keenam dari Guru Mukminah yang terkenal dengan Guru Minah, yang lambat laun disebut juga sebagai Tuan Guru Haji Abdul Madjid terutama setelah menunaikan Ibadah Haji. Ibunya bernama Inaq Syam dari desa Kelayu, kecamata Selong, Kabupaten Lombok Timur, yang selanjutnya bernama Hajjah Halimatus Sa’diyah, setelah menunaikan ibadaah haji di tanah suci Mekah.
Sebagai orang yang bijaksana ibu dan bapaknya sangat saying kepadanya. Keduanya berusaha mendidiknya dengan pendidikan yang sangat baik disertai cinta kasih yang sangat mendalam. Untuk kesuksesan pendidikan serta masa depannya yang gemilang, orang tuanya senantiasa mendo’akannya agar supaya ia menjadi putera yang saleh dan pintar serta alim besar dan berguna bagi, nusa dan bangsa.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengetahui nama dan keluarganya
2. Mengetahui pendidikan dan prestasinya.
3. Mengetahui kerajinan membaca dan karya-karya tulisnya.
4. Organisasi Nahdlatul Wathan

BAB II
PEMBAHASAN
A. Nama dan Keluarganya
Tuan Guru Kyai haji Muhammad Zainuddin bin Abdul Madjid, yang lebih memasyarakat dengan sebuatan Bapak Maulanasyaikh dilahirkan dikampung bermi Desa Pancor Kab. Lombok Timur pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1322 (tahun 1904), dari seorang ibu yang amat sholehah di kampong itu, bernama Hajjah Halimatussa’diyah (asal Kelayu Lombok Timur) dan Bapaknya bernama Haji Abdul Madjid (asal Pancor Lombok timur). Pada masa kecilnya, beliau bernama Muhammad Saggaf, dan setelah menunaikan ibadah haji nama beliau diganti oleh ayahnya dengan nama Haji Muhammad Zainuddin. Nama tersebut dipilih (untuk mengambil barokah) dari nama Ulama’ Besar Kota Makkah (asal Melayu) yang saat itu mengajar di masjidil Haram, yaitu Syek Muhammad Zainuddin Serawak. Sedangkan di Makah beliau dikenal dengan nama Syaikh Zainuddin Al-Ampenani, karena berasal dari Lombok yang saat itu terkenal dengan pelabuhan lautnya (Ampenan) yang selanjutnya nama ini yang tercantum pada Ijazahnya. Sekembali dari tanah Suci Makkah, beliau dipanggil dengan nama Tuan Guru Bajang, karena beliau menjadi tuan guru pada saat berusia (31 tahun). Sembilan tahun kemudian, ketika beliau berumur 40 tahun beliau disebut sebagai Tuan Guru Pancor yang kemudian di arab-kan dengan Al-Fansyuri. Panggilan Tuang Guru Haji Badrul islam bin Tuan Guru hajji Umar Kelayu (1944) yang sebelumnya dikenal oleh masyarakt Lombok Timur (1944) yang seblumnya dikenal oleh masyarakat Lombok Timur dengan sebutan tuan Guru Pancor (=tuan Guru yang beralamat di pancor). Tuan guru Badar alias Tuan Guru akar alias Datuk arwah hilang mimbar adalah mantera beliau dari isteri kedua bernama hajjah Raihaniah.
Mengingat keberadaan Maulanasyeikh sebagai pendiri NWDI, maka masyarakat memberi gelar dengan sebutan, Bapak HAMZANWADI yang merupakan akronomi dari nama beliau dan nama madrasah yang didirikan, yaitu HAji Muhammad Zainuddin Abdul Majid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah.
Aktivitas yang sangat padat dan mobilitas yang tinggi ke luar rumah mempelopori pendirian madrasah dan masjid, mengajar dan berdakwah dari madrasah yang satu ke madrasah yang lain, dari masjid yang satu ke masjid yang lain, dari satu desa ke desa lainnya se-Pulau lombok, mengantarkan beliau menyandang gelar sebagai “Abul Madaris Wal Masajid” (Bapak daripada Madrasah dan Bapak daripada Masjid). Tidak hanya itu, dalam perjalanan keliling itu beliau juga mengajak masyarakat setempat untuk mendirikan panti-panti asuhan dan asuhan-asuhan keluarga (tempat memelihara dan membina anak-anak yatim dan anak-anak fakir miskin) maka Almagfurulahu disebut juga sebagai “Abul Yatamu wal Masakin” (Bapak daripada anak-anak yatim dan Bapak daripadan anak-anaknya orang miskin).
Selama hayatnya, beliau dikarunia dua orang putrid, masing-masing Hajjah Siti Rauhun Zainuddin, lahir dari ummi Hajjah Jauhariyah dan Hajjah Siti Raihanun Zainuddin dari ummi Hajjah Rahmatullah. Oleh karena itu, Maulanasyaikh bangga dengan sebutan “Abu Rauhun wa Raihanun” karena nama tersebut tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah (ayat:89): “Fa Rauhun wa Raihanun wa Jannatu Na’im”. Nama tersebut sudah dicanangkan oleh beliau jauh hari sebelum dikarunai keturunan.
Almagfurulahu wafat pada tanggal 20 Jumadil Akhir 1418 Hijriyah pada usia ke 96 tahun dan dimakamkan pada tanah milik beliau sendiri (bukan wakaf) di dalam komplek pondok Pesantren Darunnahdlatain NW Pancor atas wasiat beliau semasa hayatnya. Makam ini banyak dikunjungi para peziarah sepanjang tahun.
B. Pendidikan dan Prestasi
Maulanasyaikh, sejak masa kecilnya beliau terkenal sangat jujur dan cerdas, ciri-ciri kesalehan sudah nampak dari pembawaan dan sikap kesehariannya, lebih-lebih beliau sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, tidaklah mengerankan jika kedua orang tuannya menumpahkan kecintaan dan kasih sayang kepadanya yang selanjutnya sebagai modal utama beliau dalam mengarungi perjalanan menuntut ilmu.
Sebelum melanjutkan studi ke Tanah Suci Makkah, beliau menamatkan sekolah Desa 4 tahun di Selong Lombok Timur tahun 1919 dan belajar Agama Islam pada ayahandanya sendiri Tuan Guru hajji Abdul Madjid, Tuan Guru Hajji Syarafuddin Pancor dan Tuan Guru Abdullah bin Duladji Kelayu Lombok Timur.
Pada tahun 1923 beliau berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk belajar Ilmu Agama Islam. Setibanya di Kota Makkah, mula-mula beliau belajar di Masjidil haram, selama lima tahun. Di Masjidil Haram beliau belajar sangat tekun pada ulama-ulama terkenal masa itu yang dipilihkan oleh orang tuanya sendiri. Pada tahun 1928, beliau belajar di Madrasah As-Shaulatiyah Makkah dibawah pimpinan Maulana Asyaikh Salim Rahmatullah (cucu pendiri Madrasah As-Shaulatiyah). Di sana beliau menekuni berbagai disiplin ilmu agama dibawah bimbingan Ulama-ulama terkemuka Kota Makkah. Prestasi beliau sangat memuaskan, dengan nilai SEPULUH Plus Bintang untuk semua mata pelajaran yang ditempuh . beliau belajar di tanah Suci Makkah selama 12 tahun dan lulus tahun 1353 Hijriah dengan predikat Mumtaz (Tsumma Cumlaude). Penghargaan diberikan Tanda Bintang karena kejeniusannya. Selain teman-teman sekelasnya, semua gurupun mengagumi dan membanggakan kehebatannya, sehingga semua maha gurunya sepakat untuk menuliskan Syahadah (ijazah) kepadanya. Leh karena itu, Syahadah Madrasah As-Shaulatiyah yang beliau miliki tertulis tangan dengan banyak macam Khot. (Foto copy duplicate syahadah terlampir).
C. Kerajinan Membaca dan Karya-karya tulisnya
Sesungguhnya kesuksesan gemilang yang pernah diraih oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selama berstudi di tanah suci Mekkah tidaik hanya disebabkan oleh kecerdasannya yang luar biasa, akan tetapi juga dikarenakan kerajinannya dalam membaca serta keseriuasannya dalam memahami dan memperdalam ilmu apa saja yang ingin dikuasainya. Demikian rajinnya dalam membaca sehingga mengakibatkan penglihatannya terganggu. Kecintaan yang dimiliki dalam membaca tidak terbatas pada waktu berstudi di tanah masjidil haram saja, bahkan sampai tahun-tahun terakhir dari hidup dan kehidupannya di hadapan para ulama dan santri Ma’had Darul Qur’an wal Hadits yang dipimpinnya pun kebiasaan membaca itu diteruskannya. Ini benar-benar luar biasa dan perlu dijadikan sebagai suri teladan bagi generasi-generasi muda Islam masa kini dan mendatang.
Keluasan ilmu yang didukung oleh pengalamannya yang banyak telah menyebabkannya mendapatkan kemudahan dalam merangkai kata-kata dan kalimat dalam rangka menulis karya ilmiyah yang ingin ditulisnya, baik dalam bahasa Arab atau pun dalam bahasa Indonesia.
Diantara karya-karya yang disumbangkannya dalam dunia ilmu adalah:
Ilmu Tajwied dengan Judul : 1) Nailul Anfal (dalam bahasa Arab), 2) Batu Ngompal (dalam bahasa Indonesia), 3) Anak Nuggal Taqrirat Batu Ngompal (dalam bahasa sasak).
Ilmu Tauhid dengan judul : Risalatut Tauhid (dalam Bahasa Arab dan dalam bentuk soal Tanya jawab).
Ilmu Fiqih dengan judul : Sullamul Hija Syarhu Safinatin Naja (dalam bahasa arab).
Ilmu Fara’idl dengan judul : 1) Nahdlatul Zainiyah (dalam bahasa arab), 2) At Tuhfatul Anfananiyah yarhu Nahdlatiz Zainiyah (dalam bahasa arab).
Al-Fawakihun Nahdiyyah (soal jawab dalam bahasa arab).
Ilmu Musthalahil Hadis dengan judul : An-Nafahatu ‘alat Taqriratis Saniyyah (dalam bahasa arab).
Ilmu Balaghah dengan judul ; Mi’rajus ibyan Ila Sama’I ‘ilmi Bayan (dalam bahasa arab).
Kumpulan Do’a dan Wirid dengan judul : 1) Hizbul Nahdlatil Wathan (dalam bahasa arab), 2) Hizbu Dahdlatil Banat (dalam bahasa arab).
Di samping karya-karya di atas, terdapat pula karya-karya lainnya berupa lagu-lagu, baik dalam bahasa arab, bahasa Indonesia atau pun bahasa sasak. Karya-karya tulis berupa lagu tersebut menunjukkan besar kepeduliannya terhadap seni budaya. Sebagai contoh dari lagu-lagu yang dikarangnya adalah: 1) Anti ya Pancor Biladi (bahasa arab), 2) Ahlan bi wafdiz Zairin (bahasa Arab), 3) Bersatulah Haluan (bahasa Indonesia), 4) Pacu Gama’na (bahasa Sasak), dan lain-lainnya.
D. Organisasi Nahdlatul Wathan
1) Pengertian Nahdlatul Wathan
Nahdlatul Wathan berasal dari dua kata Arab, yaitu :
“Nahdlah” dan “al wathan”
Nahdlah berarti kebangkitan pergerakan, pembangunan.
Al Wathan berarti tanah Air atau Negara.
Jadi Nahdlatul Wathan adalah kebangkitan tanah air, pembangunan Negara atau membangun Negara.
Secara terminologis Nahdlatul Wathan adalah organisasi islam Ahlussunnah Waljama’ah.
2) Madrasah NWDI
Kondisi ini selanjutnya mendorong semangat Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid untuk membangun madrasah sebagai lembaga pendidikan islam di pulau Lombok. Rencana ini ternyata tidak berjalan sesuai harapan, sebab ada sebagian masyarakat yang kontra dan tidak setuju dengan rencana tersebut. Mereka yang kontra berasumsi bahwa madrasah merupakan kepanjangan tangan dari sistem pembelajaran ala barat dan akan menyebarkan ajaran wahabi dan Mu’tazilah.
3) Madrasah NBDI
Berangkat dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh madrasah NBDI, kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang dikhususkan untuk kaum perempuan.
Gagasan mendirikan madrasah dimaksud dilator belakangi oleh kondisi social perempuan pada saat itu yang tersubordinasi oleh negemoni kaum laki-laki. Padahal perbedaanya memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat.
4) Dinamika perjalanan NWDI dan NBDI
Setelah posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah berkembangnya cabang-cabang berbagai daerah, maka madrasah NWDI dan NBDI melakukan upaya-upaya pengembangan konstruktif dalam bidang kurikulum, jenjang dan jenis madrasah sesuai dengan perkembangan zaman.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Maulanasyaikh, sejak masa kecilnya beliau terkenal sangat jujur dan cerdas, ciri-ciri kesalehan sudah nampak dari pembawaan dan sikap kesehariannya, lebih-lebih beliau sangat berbakti kepada kedua orang tuanya. Oleh karena itu, sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, tidaklah mengerankan jika kedua orang tuannya menumpahkan kecintaan dan kasih sayang kepadanya yang selanjutnya sebagai modal utama beliau dalam mengarungi perjalanan menuntut ilmu.
Keluasan ilmu yang didukung oleh pengalamannya yang banyak telah menyebabkannya mendapatkan kemudahan dalam merangkai kata-kata dan kalimat dalam rangka menulis karya ilmiyah yang ingin ditulisnya, baik dalam bahasa Arab atau pun dalam bahasa Indonesia.
Nahdlatul Wathan berasal dari dua kata Arab, yaitu :
“Nahdlah” dan “al wathan”
Nahdlah berarti kebangkitan pergerakan, pembangunan.
Al Wathan berarti tanah Air atau Negara.
Jadi Nahdlatul Wathan adalah kebangkitan tanah air, pembangunan Negara atau membangun Negara.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Ahmad Abdul Syakur, M.A. Islam Dan Kebudayaan (Akulturasi Nilai-Nilai Islam dalam Budaya Sasak). 2006. Penerbit Adab Press
Kerja Sama YPH PPD NW Pancor dan DPC PBB Kab. LOTIM. Mengenang AlMagfurullahu Maulanasyaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Pancor. 2004

Sabtu, 17 Oktober 2009

Telaah Kurikulum

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah “Kurikulum” memiliki berbagai tafsiran yang dirumuskan oleh pakar-pakar dalam bidang pengembangan kurikulum sejak dulu sampai dewasa ini. Tafsiran-tafsiran tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya, sesuai dengan titik berat inti dan pandangan dari pakar yang bersangkutan. Istilah kurikulum berasal dari bahas latin, yakni “Curriculae”, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu itu, pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa dapat memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakikatnya merupakan suatu bukti , bahwa siswa telah menempuh kurikulum yang berupa rencana pelajaran, sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ketempat lainnya dan akhirnya mencapai finish.
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi populer sejak tahun lima puluhan, yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di Amerika Serikat. Kini istilah itu telah dikenal orang di luar pendidikan. Sebelumnya yang lazim digunakan adalah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama sama artinya dengan rencana pelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu pengertian kurikulum?
2. Apa landasan pengembangan kurikulum?
3. Apa yang dimaksud evaluasi belajar?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum
Istilah “Kurikulum” berasal dari bahasa Latin, yakni curriculum yang berarti a running course, dalam bahasa Perancis courier berarti to run = berlari. Dari istilah ini kemudian digunakan untuk menempuh sejumlah matapelajaran (courses) demi memperoleh suatu gelar penghargaan akademik, pada akhirnya ada yang menamakan ijazah. Pada perkembangan selanjutnya terjadi friksi dalam mendefinisikan istilah kurikulum sesuai dengan persepsi para tokoh yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Secara garis besar pemahaman kurikulum bisa dipandang dalam perspektif tradisional, yakni kurikulum diartikan sejumlah matapelajaran yang diajarkan di sekolah, sedangkan dalam pandangan modern berarti seluruh aktivitas yang dilakukan oleh siswa di dalam dan luar sekolah sebagai kegiatan pendidikan dan tidak hanya sebatas matapelajaran atau proses belajar-mengajar untuk mentransfer matapelajaran.
Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran (subject matter) dipandang sebagai pengalaman orang tua atau orang-orang pandai masa lampau, yang telah disusun secara sistematis dan logis. Mata ajaran tersebut mengisis materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa, sehingga memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan yang berguna baginya.
Perumusan/pengertian kurikulum lainnya yang agak berbeda dengan pengertian-pengertian sebelumnya lebih menekankan bahwa kurikulum merupakan serangkaian pengalaman belajar. Salah satu pendukung dari pengalaman ini menyatakan sebagai berikut:
“Curriculum is interpreted to mean all of the organized courses, activities, and experiences which pupils have under direction of the school, whether in the classroom or not (Romine, 1945,h. 14).”
Pengertian itu menunjukan, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Tidak ada pemisahan yang tegas antara intra dan ekstra kurikulum. Semua kegiatan yang memberikan pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada hakikatnya adalah kurikulum.
Dari berbagai macam pengertian kurikulum diatas kita dapat menarik garis besar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
B. Landasan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Pengebangan kurikulum berlandaskan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada gilirannya menjadi landasan dalam merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan pendidikan.
2. Sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat kita.
3. Perkembangan peserta didik, yang menunjuk pada karekteristik perkembangan peserta didik.
4. Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (kultural), dan lingkungan hidup (bioekologi), serta lingkungan alam (geoekologis).
5. Kebutuhan pembangunan, yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum, hankam, dan sebagainya.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang sesuai dengan sistem nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

C. Evaluasi Belajar
1. Pengartian, kedudukan, dan syarat-syarat umum evaluasi
a. Pengertian Penilaian
Pengukuran adalah suatu upaya untuk mengetahui berapa banyak hal-hal telah dimilik oleh siswa dari hal-hal yang telah diajarkan oleh guru. Pengertian ini menunjukan bahwa pengukuran bersifat kuantitatif.
b. Kedudukan Evaluasi dalam Proses Pendidikan
Menurut Schwartz dkk, penilaian adalah suatu program untuk memberikan pendapat dan penentuan arti atau kaidah suatu pengalaman. Pengalaman adalah pengalaman yang diperoleh berkat proses pendidikan. Proses tersebut tampak pada perubahan tingkah laku atau pola kepribadian siswa.
c. Syarat-syarat Umum Evaluasi
Penilaian yang akan dilaksanakan harus memenuhi persyaratan atau kriteria sebagai berikut :
1. Memiliki validitas
2. Mempunyai reliabilitas
3. Objektivitas
4. Efisiensi
5. Kegunaan/kepraktisan
2. Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran, pengolahan, penafsiran, dan pertimbangan untuk membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh siswasetelah melakukan kegiatan belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
a. Fungsi dan Tujuan Hasil Evaluasi Hasil Belajar
 Fungsi evaluasi hasil belajar:
1. Memberikan informasi tentang kemajuan siswa.
2. Memberikan informasi untuk membina kegitan belajar siswa.
3. Memberikan informasi untuk mengetahui kemamouan siswa.
 Evaluasi hasil belajar memiliki tujuan-tujuan tertentu:
1. Memberikan informasi tentang kemajuan siswa.
2. Memberikan informasi untuk membina kegitan belajar siswa.
3. Memberikan informasi untuk mengetahui kemamouan siswa.
b. Sasaran Evaluasi Hasil Belajar
 Ranah kognitif
a. Sasaran penilaaian aspek pengenalan.
b. Sasaran penilaian aspek mengingat kembali.
c. Sasaran penilaian aspek pemahaman
 Ranah afektif
a. aspek penerimaan.
b. Aspek sambutan.
c. Aspek organisasi
d. Aspek karateristik
 Ranah keterampilan
Sasaran evaluasi keterampilan reproduktif.
a. Aspek keterampilan kognitif
b. Aspek keterampilan psikomotorik
c. Aspek keterampilan reaktif
d. Aspek keterampilan interaktif.
c. Prosedur Evaluasi Hasil Belajar
1. persiapan
2. penyusuanan alat ukur
3. pelaksaan pengukuran
3. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah evaluasi terhadap proses belajar mengajar diarahkan pada komponen-komponen system pembelajaran.
a. Fungsi dan Tujuan Hasil Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran berfungsi dan bertujuan :
1) untuk pengembangan
2) untuk akreditasi
b. Sasaran Evaluasi Hasil Pembelajaran
Sasaran Evaluasi pembelajaran adalah untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang dinilai dalam system pembelajaran .
1. Evaluasi Tujuan Pembelajaran
2. Evaluasi unsure dinamis pembelajaran
3. Evaluasi pelaksaaan pembelajaran
4. Evaluasi kurikulum/ GBPP
c. Prosedur Evaluasi Pembelajaran
Ada beberapa bentuk atau teknik yang dapat dugunakan.
1. Studi kasus
2. Inventories dan Questionaires
3. Observasi
4. Anecdotal Record.
5. Wawancara.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai macam pengertian kurikulum yang telah dipaparkan dala pembahasan diatas kita dapat menarik garis besar pengertian kurikulum yaitu:
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum yang baik tentu akan mendongkrak kualitas anak bangsa, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh praktisi, dievaluasi, dikembangkan secara berkala. Dan yang juga tidak kalah penting adalah kurikulum tidak memperdaya Guru dan Siswa tapi memberdayakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Poedjinoegroho Baskoro, April 2003, KBK Memberdaya atau Memperdaya Guru?, dikutip dari Harian Kompas
Idi Abdullah, Drs., M.Ed., 1999, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jakarta, Gaya Media Pratama, hal. 3-4
Muslich Masnur, Drs., 1994, Dasar – dasar Pemahaman Kurikulum 1994, Malang, YA 3, hal. 3

Teori Sosiologi

BAB I
PEMBAHASAN
1.1 RIWAYAT HIDUP DURKHEM
Emile Durkhem lahir pada 1858 di Empal, suatu perkampungan kecil orang yahudi di bagian timur prancisyang agak terpencil dari masyarakat luas.
Ayah Durkhem adalah seorang Rabi, seperti kabonya juga, dan kalau Durkheim sudah terbiasa mengikuti kebiasaan tradisional dia juga sudah menjadi seorang Rabi.
Namun ia menyimpang dari kebiasaan ini, sebagian mungkin karena suatu pengalaman mistik dan untuk sementara masuk katolik dibawah pengaruh seorang gurunya yang beragama katolik. Lalu ia meninggalkan katoliksme dan menjadi orang yang tidak ingin tahu dengan agama (agnestik), tetapi masalah-masalah dasar tentang moralitas dan usaha untuk meningkatkan moralitas masyarakat merupakan perhatian pokok selama hidupnya.
Pada usia 21 tahun Durkheim diterima di “Ecole Normale Superieure”.
Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompletitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Dia datang ke Paris untuk bisa masuk kesekolah “Lycee Louis-Lo-Grand” (satu sekolah tinggi terkemuka), sesudah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari guru di Epiral.
Durkheim menunjukkan dirinya di Ecole Normale Superiure sebagai seorang mahasiswa yang serius. Durkheim sangat tidak puas dengan kurikulumnya.
Secara tradisional tekanannya yang dominan adalah pada sastra klasik, termasuk bahasa latin dan Yunani.
Sekurang-kurangnya dua orang professor Durkheim di “Ecole Normale”-Ofustol de Coulanges dan Emile Boutrout mempunyai pengaruh yang penting terhadap dia.
Dari de Coulanges, seorang ahli sejarah ternama karena tulisannya “The Ancient City”. Durkheim mempelajari nilai ilmiah yang lewat dalam penelitian sejarah.
Juga tekanan Coulanges pada consensus intelektual dan agama sebagai dasar solidaritas sosial jelas sangat mengesankan Durkheim, ketika kemudian Durkheim mulai berkemcimpung dalam karirnya mengenai masalah bagaimana tuntutan moral masyarakat diendapkan dalam kesadaran subyektif individu, dia kembali memperhatikan agama dan sumbangannya dalam intograsi masyarakat.
Dari Boutrout, seorang ahli filsafat, Durkheim mempelajari pentingnya untuk mengakui bahwa ada tingkatan-tingkatan kenyataan yang berbeda dan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi dapat memperlihatkan sifat yang muncul yang tidak dapat dijalankan dalam hubungan dengan gejala sosial yang lebih rendah tingkatannya. Dengan kata lain, keseluruhan lebih besar dari pada bagian-bagiannya.
Sesudah menanamkan pendidikannya, Durkheim mulai mengajar selama lima tahun ia mengajar dalam satu sekolah menengah ke atas (Lyeces) didaerah Paris. Disana dia di perkenalkan dengan laboratorium Psikologi dari seorang ahli Psikologi eksperimental bernama “Wilhelm Wuadt” dan sangat terkora dengan komitmennya terhadap studi emprik ilmiah mengenai prilakunya yang di tunjuknya. Juga ia di perkenalkan dengan ide mengenai pembeda antara “Gemoinschaft” dan “Corellschafl” yang segera menjadi terkenal dalam buku “ronnies berjudul “GemeinsChaft dan CorellsChafl” yang kemudian di definisi Durkheim.
Pendirian ideologis Durkheim secara pribadi bersifat liberal. Walaupun mudah untuk melihat beberapa implikasi koneservatifpenting dalam karya teoritisnya, sebagaiannya karena tekanan yang terlampau mementingkan struktur dodial serta kepatuhan individu terhadap masyarakat secara mutlak untuk perkembangannya.
Namun dalam praktiknya, dia membela hak individu melawan pernyataan yang tidak adil atau berlebihan yang di buat alu nama masyarakat.
1. Melembagakan sosial sebagai satu disiplin akademis
Pada tahun 1887, ketika Durkheim berusia 29 tahun, pemberian kuliahnya dan beberapa artikel yang ditulisnya membuat dia menjadi seorang ahli ilmu sosial muda yang terpandang, untuk ia dihargai dengan pengangkatannya di fakultas. Pendidikan dan fakultas ilmu sosial di universitas Berdeaut. Ini merupakan pengakuan akademi pertama yang resmi yang diberikan kepada disiplin sosilogi yang baru itu dalam sistem universitas di Prancis.
Kebutuhan untuk mengajar kursus pendidikan kemungkinan Durkheim mengembangkan poropektif sosiologinya mengenai kepribadian manusia yang dibentuk oleh masyarakat melalui wakil-wakilnya dalam pendidikan. Durkheim merupakan satu kekuatan penting dalam sistem pendidikan Prancis.
Tahun 1896 Durkheim diangkat menjadi professor penuh dalam ilmu sosial. Hal ini memperlihatkan satu dobrakan dia merupakan professor penuh untuk pertamakalinya dalam ilmu sosial di Prancis. Dua tahun kemudian, tonggak sejarah yang penting dicapai ketika Durkheim mendirikan “L’Anee Sociologique”, jurnal ilmiah pertama untuk sosiologi.
Tahun 1899 Durkheim ditarik ke Sorbonne, tahun 1906 di promosikan sebagai professor dalam ilmu pendidikan sosiologi belum didirikan di Universitas Paris, biasanya disini pada puncak sistem pendidikan tinggi di Prancis berputar apakah memberikan satu tempat untuk sosiologi atau tidak, tidak dapat dibuat dengan tergesa-gesa atau begitu saja.
Pada tahun 1913 kedudukan DUrkheim diubah keilmuan pendidikan dan sosiologi.
Durkheim terus aktif dalam usaha akademi dan ilmiah tetapi dengan pecahnya perang, sebagian tenaga dialihkan ke usaha yang menjalankan tujuan Prancis dalam perang itu. Putranya, Andre, mendapat cindera penuh dan menemani ajalnya ditahun 1915.
2. Pengaruh sosial dan intelektual terhadap Durkheim
Perhatian Durkheim sepanjang hidupnya terhadap solidaritas sosial muncul antara lain karena keadaan keteraturan sosial yang goyah dimasa republic ke-3 selagi dia masih muda.
Pada satu saat, presiden republic ke-3 itu pernah membubarkan majelis perwakilan, sebagai bagian dari urdanya untuk menegakkan suatu presidensinya yang kuat.
Meskipun situasi politik goyah dan tidak setabil, revolusi industri tetap maju dan membawa perubahan dalam struktur akademi, hubungan sosial, serta orientasi budaya dasar.
Perhatian Durkheim dalam moralitas umum terjadi bersama dengan masa peralihan dalam sistem pendidikan di Prancis. Durkheim merasa bahwa dalam menghadapi masa peralihan ini, perlu dikembangkan satu alternatif lain dari dasar pendidikan moral agama tradisional.
Durkheim mengakui Comte sebagai pendiri disiplin sosiologi (dan juga mengakui pengaruh St. Simon) dan juga sependapat dengan pandangan Comte tentang masyarakat yang bersifat organis.
Pandangan Durkheim mengenai fungsi pembagian kerja dalam meningkatkan integarasi sosial didukung dengan mengambil referensi Comte: Meskipun analisis sosiologi Derkheim njelimat dan lebih penting untuk sosiologi masa kini dari pada sosiologi Comte, namun Durkheim menemukan landasan umum yang kuat bagi ide-ide teoritasnya dalam karya “Bapak Sosiologi” itu.

3. Pertentangan dengan individualisme Spencer
Durkheim mempertegas pendekatannya yang khusus itu sebagai sesuatu yang betentangan dengan perspektif Harbert Spencer yang bersifat individualisme. Spencer adalah seoarang ahli teori sosial dari inggris yang sangat berpengaruh disana selama abad ke-19, dan kemudian di Amerika karena ide-idenya mengenai evolusi dan kemajuan sosial. Seperti Comte dan Durkheim di Prancis, Spencer tertarik pada perkembangan evolusi jangka panjang dari masyarakat modern.
Meskipun Spencer tidak berutang budi pada Comte untuk pandangan mengenai kemajuan evolusi, keyakinannya akan kemajuan adalah serupa. Model evolusi sosial Spencer tentang kompleksitas sosial yang semakin meningkatkan melalui peningkatan pembagian kerja hamper sama dengan Durkheim.
Perbedaan yang penting antara Spencer dengan Comte dan Durkheim adalah gambaran Spencer mengenai kenyataan sosial yang bersifat individualistik. Masyarakat adalah sebagai hasil dari persetujuan kontraktual dimana individu saling berubah untuk mengejar kepentingan pribadinya.
Gambaran Spencer mengenai masyarakat yang ideal atau yang paling maju adalah masyarakat dimana individu memiliki kebebasan sebesar-besarnya untuk mengatur kepentingan dan meningkatkan kebahagiaan tanpa diarahkan atau di kontrol oleh otoritas pusat manapun.
1.2 KENYATAAN FAKTA SOSIAL
Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta prilakunya yang berbeda.
Tekanan Durkheim pada kenyataan sosial yang efektif itu bertentangan tidak hanya dengan individualisme yang berlebihan tetapi juga dengan para ahli teori yang pendekatannya terlampau spektualatif dan filosofis.
1) Fakta sosial lawan fakta individu
Pernyataan lain yang muncul dari tekanan pada kenyataan gejala yang objektif menyangkut sifat dasar kenyataan itu.
2) Karakteristik fakta sosial
Karakteristik fakta sosial adalah bahwa fakta itu memaksa individu. Jelas bagi Durkheim bahwa individu di paksa dibanding, di yakinkan, di dorong, atau dorongan cara tertentu di pengaruhi oleh pembagian tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
3) Strategi untuk menjelaskan fakta sosial
Salah satu metodologi dasar yang di tekankan Durkheim adalah bahwa fakta sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya, ini adalah dasar pokok yang mutlak.
1.3 SOLIDARITAS DAN TIPE STRUKTUR SOSIAL
Dari semua fakta sosial ditunjukkan dan di diskusikan oleh Durkheim, tak satupun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Ikatan ini lebih karena hubungan-hubungan serupa itu mengendalikan sekurang-kurangnya satu tingkat/drajat consensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu.
1) Solidaritas mekanik dan organik
Analisis durkheim mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber-sumber struktur sosialnya diperoleh dari bukunya “The Division of Labar in Socety”.
2) Kesadaran kolektif dalam masyarakat organik
Pertumbuhan dalam pembagian kerja (dan solidaritas organik sebagai hasilnya) tidak menghancurkan keberadaan kolektif, dia hanya mengurangi arti pentingnya dalam peraturan terperinci dalam kehidupan sehari-hari.

3) Evolusi sosial
Dalam analisis Durkheim mengenai solidaritas mekanik melawan solidaritas organik terkandung satu model perubahan sosial yang umum.
Tetapi karena penduduk bertambah, perjuangan untuk hidup juga bertambah. Akibatnya individu secara bertahap meningkatnya spesalisasinya karena mereka mencari suatu jalan untuk tetap hidup dimana kompetisi atau komflik dengan orang lain kurang parah.
1.4 ANCAMAN TERHADAP SOLIDARITAS
Apakah struktur sosial suatu masyarakat mencerminkan solidaritas mekanik atau organik, tingkat integrasi moral sosial yang dipertahankan dalam bentuk minimum sedikitpun tidak pernah berlangsung secara otomatis.
a. Sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat organik yang kompleks.
Suatu ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organik berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang semakin berat yang berhubungan dengan pembagian kerja yang tinggi.

BAB II
DAFTAR PUSTAKA
Abel, Theodore, the Foundation of Sociological Theory, New York : Random Houre, 1970.
Barash, David P., Sociology and Behavior. New York. Free Prees, 1968

Rabu, 14 Oktober 2009

Sosiologi Pembangunan 2

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi petani miskin terutama di daerah marginal lahan kering, Departemen Pertanian dengan dukungan dana Asian Development Bank (ADB) melaksanakan Program Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi (P4MI). Dalam jangka panjang P4MI bertujuan untuk meningkatkan inovasi dalam produksi dan pemasaran pertanian bagi petani miskin, sedangkan tujuan jangka menengah adalah mengembangkan investasi infrastruktur pertanian sesuai kebutuhan spesifik lokasi, meningkatkan akses petani miskin terhadap informasi, dan reorientasi penelitian pertanian ke daerah marginal tadah hujan (Badan Litbang Pertanian, 2005). Kegiatan P4MI dimulai sejak tahun 2003, dan dilaksanakan pada 1.000 desa target di lima Kabupaten di Indonesia, yaitu Kabupaten Temanggung dan Blora (Jawa Tengah), Kabupaten Lombok Timur ( NTB), Kabupaten Ende (NTT), dan Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah).
Untuk melaksanakan kegiatan pemberdayaan petani, P4MI bekerjasama dengan LSM yang menempatkan seorang Staf LSM Kecamatan (SLK) di setiap Kecamatan dan merekrut dua orang Fasilitator Desa (FD) di setiap desa. LSM membangun dan mendukung kapasitas operasi tiga kelembagaan yakni: Komite Investasi Desa (KID), Forum Antar Desa (FAD), dan Komite Koordinasi Kabupaten (KKK). Rekayasa kelembagaan dilakukan dalam bentuk penguatan ketiga lembaga di atas, terutama Komite Investasi Desa (KID), sedangkan rekayasa komunikasi dalam bentuk mengembangkan partisipasi petani dalam merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan dan memelihara infrastruktur pertanian secara partisipatif.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Rekayasa Kelembagaan dan Komunikasi
Di setiap desa sebagai lokasi P4MI, LSM memfasilitasi pembentukan KID yang dipilih oleh petani (melalui perwakilan kelompok tani) dan masyarakat desa melalui musyawarah desa. Melalui KID, setiap desa mendapatkan dana stimulan sebesar USD 30 ribu. KID bertanggung jawab terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi kegiatan investasi desa, serta membuat rencana tindak lanjut pemanfaatan dan pemeliharaannya. Proses perencanaan didahului dengan kajian sosial desa yang dilaksanakan oleh fasilitator (SLK dan FD) bersama-sama dengan petani anggota kelompok tani. Masing-masing kelompok tani mengajukan usulan investasi infrastruktur kepada KID yang kemudian diputuskan melalui musyawarah desa. KID kemudian menyusun proposal Rencana Investasi Desa (RID), kemudian diverifikasi oleh Forum Antar Desa (FAD) yang beranggotakan stakeholders di tingkat Kecamatan.
Setelah proposal disetujui, KID mendapatkan dana stimulan sebesar USD 30 ribu yang langsung ditransfer ke rekening KID. Masyarakat diberikan kepercayaan mengelola sendiri dana pembangunan tanpa campur tangan birokrasi, tetapi kontrol penggunaan dana tetap dilakukan baik oleh petani dan masyarakat maupun Pemerintah Daerah. KID yang merupakan representasi masyarakat, membangun transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan. Petani dan masyarakat dituntut untuk berkontribusi, berupa sumbangan lahan (tanpa adanya ganti rugi), material bangunan, konsumsi, tenaga, dana, dan lain-lain. Pelibatan tokoh masyarakat sebagai pimpinan non-formal seperti tokoh agama atau tokoh adat memacu partisipasi masyarakat.
Di Desa Jenggik Utara Kecamatan Montong Gading, pekerjaan yang dilaksanakan KID adalah pembangunan jalan usaha tani dari jalan desa ke lokasi waduk sepanjang 140 m, dan pembangunan bendung tipe urugan zone inti kedap air seluas 82 are. Manfaat yang diharapkan untuk 485 ha, 700 orang, meliputi 4 dusun di desa Jenggik Utara, dan di luar desa (Desa Jenggik dan desa Rarang), serta sampai di Kabupaten Lombok Tengah (Desa Waje Geseng). Total dana yang digunakan Rp 774.650.000, terdiri dari dana P4MI Rp 207.000.000, dana APBD Rp 12,000,000 (untuk dana seed capital dan operasional KID), dana masyarakat Rp 106.150.000, dan dari mitra (Pondok Pesantren Yayasan Thohiriyah al Fadliyah, Yatofa) Rp 461.000.000. Dukungan masyarakat, terdiri dari lahan seluas 82 are senilai Rp 164.000.000, alat berat sebanyak 3 unit senilai 288.000.000, pohon kayu 40 batang senilai Rp 6.000.000, peralatan senilai Rp 2.500.000, dan dapur umum senilai Rp 5.000.000.
Di Desa Lenek Kecamatan Aikmel, KID membangun pasar desa. Total dana yang digunakan Rp 53,690,456, terdiri dari dana P4MI Rp 33,883,580, dan dana masyarakat Rp 19,806,876. Dampak dari pembangunan pasar desa, pedagang yang sebelumnya adalah pedagang kecil/bakulan yang berjualan di pinggir jalan raya pada pagi hari, berkembang menjadi pasar transit yang menjual hasil pertanian oleh petani langsung sebelum dibawa ke pasar Kecamatan dan Pasar Induk Bertais (Mataram).
Dari hasil FDG terungkap bahwa kegiatan pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengembangan investasi infrastruktur desa yang dibangun P4MI di beberapa desa menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Di Desa Rarang Kecamatan Terara, pembangunan menara air dan irigasi perpipaan (tahun 2006) ditindaklanjuti oleh KID (tahun 2007) dengan pengembangan investasi desa tersebut dalam bentuk pembangunan menara air dan jaringan pipa untuk kebutuhan air minum masyarakat desa Rarang.
Untuk operasionalisasi dan pemeliharan (O dan P) infrastruktur yang sudah dibangun, menjadi tanggung jawab masyarakat di bawah koordinasi KID. Beberapa desa telah selesai menyusun awiq-awiq (kesepakatan bersama yang dilandasi nilai-nilai kearifan lokal) tentang hak dan kewajiban O dan P, termasuk besarnya sumbangan penerima manfaat dan sangsi yang diberlakukan apabila melanggar awiq-awiq. Beberapa awiq-awiq telah diperkuat melalui Surat Keputusan Kepala Desa.
B. Pelajaran yang Dapat Ditarik
Dari tingginya partisipasi petani seperti diuraikan di atas, terlihat bahwa apabila petani dan masyarakat desa diberikan kepercayaan dalam melaksanakan pembangunan, maka masyarakat akan memanfaatkan semua sumberdaya yang ada untuk keberhasilan pembangunan, serta menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki. Perencanaan dari bawah (bottom up planning), dimana beneficiaries menentukan sendiri jenis investasi desa yang mereka butuhkan, merupakan perubahan mendasar karena sebelumnya berbagai proyek dan program berorientasi top down dimana beneficiaries hanya menerima apa yang telah direncanakan dari atas. Kegiatan investasi desa yang dilaksanakan secara partisipatif oleh masyarakat telah menumbuhkan kembali budaya dan semangat gotong royong.
Dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat, peran fasilitator sangat penting sebagai katalisator yang menggerakkan masyarakat agar mau melakukan perubahan, membantu pemecahan masalah, membantu penyebaran inovasi, serta memberi petunjuk bagaimana mengenali dan merumuskan kebutuhan, mendiagnosa permasalahan dan menentukan tujuan, mendapatkan sumber-sumber yang relevan, memilih dan mengevaluasi, dan menghubungkan dengan sumber-sumber yang diperlukan.
Petani dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah pun dapat dibimbing dan ditingkatkan kemampuannya bila tujuan pemberdayaan dapat diterima dan dipahami mereka. Dengan pendekatan partisipatif, petani/masyarakat dapat dimobilisasi dan bersedia memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk sesuai kemampuannya.
Keterlibatan para pihak (Stakeholders) dalam setiap tahapan pengembangan investasi desa sangatlah penting. Mengembangkan partisipasi masyarakat tidak lepas dari peran Tuan Guru dan tokoh-tokoh agama setempat, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh masyarakat. Koordinasi dan kerjasama antar stakeholders akan membantu proses konvergensi dan divergensi sumberdaya bagi proses pembangunan pedesaan. Untuk itu, dalam perencanaan desa hendaknya juga dikembangkan struktur partisipasi dan pemberdayaan bagi masing-masing stakeholders. Setiap stakeholder dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, implementasi, evaluasi, dan berbagi hasil, yang pada gilirannya melahirkan komitmen dan tanggung jawab.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rekayasa kelembagaan dan komunikasi untuk meningkatkan partisipasi petani dalam membangun infrastruktur pertanian melalui P4MI di Kabupaten Lombok Timur dapat dikatakan berhasil. Pelajaran yang dapat ditarik adalah : (1) Perencanaan dan pelaksanaan proses pemberdayaan, apabila dilakukan secara partisipatif dengan beneficiaries dan stakeholders akan menumbuhkan tanggung jawab dan rasa memiliki dari masyarakat; (2) Dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat, diperlukan fasilitator, penggerak atau agen pembangunan (development agent) untuk membantu masyarakat dalam merumuskan masalah yang dihadapi dan mengenal potensi yang dimiliki masyarakat untuk mampu menolong dirinya sendiri; (3) Koordinasi dan kerjasama antar stakeholders akan membantu proses konvergensi dan divergensi sumberdaya bagi proses pembangunan pedesaan., setiap stakeholder dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, implementasi, O dan P, yang pada gilirannya melahirkan komitmen dan tanggung jawab.
B. Saran
Keberlanjutan atau sustainability kegiatan yang telah dilaksanakan KID dan bagaimana terus memelihara partisipasi masyarakat perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Keberadaan KID hendaknya tidak hanya sampai dengan berakhirnya P4MI, namun disarankan untuk menjadikan KID sebagai salah satu lembaga organik di pemerintahan desa, dan untuk itu diperlukan kajian dan perangkat hukum dari pihak eksekutif dan legislatif. Pola partisipatif dan pendekatan bottom-up yang dikembangkan P4MI agar dapat diadopsi berbagai program pembangunan yang menyangkut kepentingan petani dan masyarakat perdesaan.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian, 2005. Panduan Umum Pemberdayaan Petani Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, PCMU PFI3P. Jakarta.
YP3M, 2007. Laporan Kegiatan Pemberdayaan Petani Program Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi (P4MI) Kabupaten Lombok Timur. Yayasan Pengembangan dan Pemberdayaan Potensi Masyarakat. Selong.

Sosiologi Pembangunan 1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makalah ini merupakan hasil pengamatan lapangan di dua desa di pedesaan Lombok Timur, yang dipilih secara purposif. Tujuan penulisan makalah adalah dalam rangka membuat alternatif rumusan model perekayasaan sosio-budaya setempat, dalam mempercepat transformasi perekonomian masyarakat pedesaan yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Terdapat semacam anggapan yang meluas bahwa tidak majunya masyarakat pedesaan disebabkan oleh kematian budayanya. Ini semua terjadi terutama disebabkan oleh ketidaktepatan pendekatan pembangunan pertanian yang digunakan selama ini dan sebelumnya. Mungkin karena ingin segera dapat menunjukkan prestasi kemajuan di bidang ekonomi pada masyarakat, pemerintah telah menempuh strategi pembangunan yang lebih menonjolkan pertumbuhan ekonomi. Strategi ini sekaligus berimplikasi sangat buruk terhadap khasanah sosio budaya, termasuk sumberdaya manusia di pedesaan. Selain itu, penajaman strategi yang dibarengi dengan pemusatan kekuasaan ke atas atau pada kepala pemerintahan secara vertikal juga dapat menimbulkan kehancuran khasanah demokrasi di pedesaan. Karena itu pula kontrol terhadap pengurasan dan pengruskaan sumberdaya alam dan lingkungan pedesaan menjadi sangat lemah, dan saat ini kondisi sumberdaya alam dan lingkungan pedesaan sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan.
Kondisi ekonomi masyarakat pedesaan yang umumnya masih mengandalkan pada kegiatan pertanian sebagai tulang punggung, dewasa ini dapat dikatakan semaki menyedihkan. Jika gambaran ini pemerintah tidak segera menindaklanjuti dengan langkah-langkah yang strategis dan terencana dengan baik, diperkirakan dalam jangka waktu satu atau dua dekade mendatang, keseluruhan perekonomian masyarakat pertanian dan pedesaan di Indonesia yang diidealkan berbasis kerakyatan, akan mengalami kemunduran yang semakin parah. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan hal itu, antara lain daya dukung tanah dan sumberdaya lainnya yang semakin menurun, prasaarana dan kelembagaan ekonomi yang terbelakan, sumberdaya manusia yang tidak tergarap dengan baik, tata nilai yang belum sepenuhnya mencerminkan daya saing yang dapat diandalkan, dan organisasi petani yang tidak berkembang sehat.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui sosio-budaya provinsi Nusa Tenggara Barat
2. Mengetahui keadaan tanah dan daya dukung.
3. prasarana dan kelembagaan ekonomi.
4. Kehidupan petani yang semakin terjepit.
5. tata nilai dan dinamika ekonomi.
6. Organisasi petani dan tranformasi ekonomi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. SOSIO-BUDAYA PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT
Sejak tahun 1986/1987 di Propinsi Nusa Tenggara Barat telah dilakukan program pembangunan yang relatif khas, yaitu Program/Proyek Bangun Nusa atau NTASP (Nusa Tenggara Agricultural Support Project). Program ini merupakan program pengembangan pertanian terpadu yang menitik beratkan kegiatannya pada peningkatan pelayanan untuk peningktana produksi pertanian di pedesaan. Kegiatan dari program ini mirip atau bahkan menjadi kegiatan proyek pemerintah pusat yang dijalankan di daerah, dengan mekanisme pembiayaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber dana adalah bantuan luar negeri atau loan Bank Dunia. Karena dinilai cukup berhasil, program ini dilanjutkan dengan Proyek NTAADP (Nusa Tenggara Agricultural Area Development Project) yang lebih menekankan pada pengembangan wilayah. Dalam kaitannya dengan program ini ternyata dapat memberikan dampak yang relatif positif bagi masyarakat petani setempat, terutama dalam perbaikan mutu lahan, peningkatan taraf hidup petani dari segi pendapatan dan penghematan tenaga kerja serta input tunai dalam penggunaan air, benih unggul dan obat-obatan (Pranaji, 2000).
Sebagai gambaran persepsi responden (masyarakat tani) terhadap pelaksanaan program-program pertanian di desa penelitian di Kabupaten Lombok Timur sebagai berikut:
Tabel 1. Persepsi Responden Terhadap Manfaat Program Pembangunan Pertanian, di Dua Desa Penelitian di Kabupaten Lombok Timur, Tahun 2000
Uraian Desa Labuhan Lombok
% Desa Bagik Papan
%
1. Perbaikan mutu lahan
2. Perbaikan pendapatan petani
3. Menghemat tenaga kerja
4. Menghemat input usahatani
5. Perubahan bentuk lahan
6. Program sertifikasi
7. Peningkatan ketersediaan air
8. Memperbaiki taraf hidup
9. Perbaikan usahatani 57
65

43
58
55
35
47

73
43 3
3

3
3
2
-
17

20
20
Sumber : Pranaji, 2000. Hal 157
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa program pembangunan pertanian relatif lebih berhasil di desa Labuhan Lombok dibanding Desa Bagik Papan. Di Desa Bagik Papan, program pertanian hanya dapat memperbaiki taraf hidup dan usahatani, meskipun relatif kecil.
B. TANAH DAN DAYA DUKUNG SETEMPAT
Sumberdaya tanah mencakup air masih menjadi andalan kehidupan masyarakat pedesaan setempat. Perhatian pemerintah terhadap faktor tanah secara fisik masih lebih banyak dibanding dari segi sosial ekonomi. Gejala kelangkaan tanah tampaknya telah lama menjadi maslaha serius bagi kehidupan masyarakat atu perekonomian pedesaan. Tekanan perhatian pemerintah setempat atas tanah pada umumnya masih menekankan bagaimana meningkatkan produktivitas tanah melalui introduksi teknologi pertanian. Penataan hukum atas tanah diihat dari kepentingan masyarakat pedesaan belum menunjukkan gambaran yang baik. Program sertifikasi lahan dilakukan secara sepihak dan tidak dososialisasikan pada masyarakat pedesaan. Akibatnya banyak petani yang tidak menyadari bahwa tanah yang digarapnya hanya sekedar “numpang lewat”. Setelah tanah dapat digarap dengan baik, justru banyak petani yang terusir dari tanah garapannya. Suatu gambaran yang buruk bahwa banyak petani di Nusatenggara Barat tidak mempunyai tanah, dan sebaliknya banyak bukan petani yang menguasai tanah di pedesaan. Dilihat dari kepentingan peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, tampaknya strategi perekayasaan sosio-budaya pedesaan yang didekati dari segi penataan fisik tanah, belum menunjukkan gejala perbaikan yang berarti.
Daya dukung kehidupan masyarakat pedesaan masih bertumpu pada tanah pertanian. Secara fisik daya dukung di Nusa Tenggara Barat relatif masih rendah. Jika dilihat dari aspek kelembagaan atas tanah pertanian, maka daya dukung masyarakat pedesaan dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan akan menunjukkan gejala penurunan yang sangat berarti. Maka program sertifikasi saja tidak terlalu dapat diharapkan dapat mengangkat fungsi lahan sebagai faktor peningkatan kesejahteraan petani atau masyarakat pedesaan.
C. PRASARANA DAN KELEMBAGAAN EKONOMI
Pada umumnya pembangunan pertanian di pedesaan masih banyak menekankan pada budaya material, atau menekankan pada segi fisik. Pembangunan prasaran ekonomi di Nusa Tenggara Barat telah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti, seperti bangunan jalan dan jembatan. Bangunan prasarana yang cukup menonjol adalah bangunan jaringan irigasi dengan pompa sumur air dalam.
Keberadaan prasaran jalan dan jembatan sangat membantu masyarakat pedesaan, karena mereka menjadi lebih mudah melakukan mobilitas horisontal terutama yang berkaitan dengan memperoleh input dan menjual produk pertanian.
Kelembagaan pendukung usaha pertanian seperti BRI Unit Kecamatan atau Bank Perkreditan Rakyat yang melayani kepentingan masyarakat pedesaan meskipun telah tersedia, namun fungsi pelayanannya masih sulit dijangkau oleh masyarakat petani, terutama golongan berlahan sempit. Terdapat kecenderungan bahwa lembaga perkreditan formal relatif lebih dapat diakses oleh pedagang output, pedagang input, dan petani berlahan luas. Sedang masyarakat petani berlahan sempit hanya dapat mengakses lembaga perkreditan non formal seperti pelepas uang, pedagang output, pedagang input dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena prosedur peminjaman relatif lebih cepat dan sederhana, tanpa harus menjaminkan tanah sebagai agunan (Hastuti, 2004). Perlu ditegaskan bahwa kekuatan pelayanan lembaga jasa permodalan untuk pertanian lahan kering relatif sangat lemah, terutama jika komoditas andalan yang diusahakan kurang diarahkan pada permintaan pasar yang tinggi.
Lembaga pemasaran yang memberikan pelayanan bersaing baru dapat dirasakan di tingkat kabupaten. Bagi pengembangan pertanian setempat, antara desa dan antar kecamatan seakan-akan merupakan ruang vakum yang sulit dijangkau lembaga pemasaran modern. Titik kritis masalah pemasaran hasil pertanian terletak antara lembaga tingkat desa dan atau kecamatan. Dalam kondisi demikian potensi nilai tambah hasil pertanian yang tidak dapat dinikmati petani setempat menjadi sangat tinggi. Harga produk pertanian yang tinggi di tingkat konsumen, tidak menjadi jaminan bahwa penerimaan harga di tingkat petani menggembirakan.
Lembaga koperasi seperti KUD, tidak menggambarkan hal yang buruk. Namun jika keberadaannya dan fungsi lembaga ini dikaitkan dengan pengembangan usaha pertanian di pedesaan di pedesaan, maka gambarannya sangat menyedihkan. Kegiatan simpan pinjam, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian banyak dijadikan kegiatan utama, namun sayangnya lembaga ini jarang yang berhubungan langsung dengan petani. Fungsinya justru lebih banyak sebagai kepanjangan tangan pedagang besar.
Lembaga alih teknologi di tingkat desa seperti penyuluhan pertanian relatif masih lemah, karena tekanan perhatian lembaga ini masih terlalu banyak pada aspek produksi pertanian yang berupa bahan mentah atau produk pertanian olahan yang bernilai tambah rendah. Tampaknya dengan pergeseran peradaban ekonomi pedesaan ke arah yang lebih komersial, keberadaan lembaga ini perlu disesuaikan dengan pengembangan bisnis pedesaan atau agribisnis berciri industrial. Penyuluh pertanian harus mampu mengubah cara atau pendekatan ke petani. Di masa mendatang, kegiatan penyuluan pertanian tidak dapat lagi hanya menggunakan pendekatan sekatan produksi. Orientasi kegiatan penyuluhan adalah menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi di pasaran.
Posisi terhormat atau tidaknya lembaga penyuluhan pertanian di tingkat desa akan ditentukan oleh seberapa jauh mereka dapat melayani kebutuhan petani untuk meningkatkan kinerja kegiatan ekonomi yang berbasis sumberdaya pertanian setempat. Terlebih-lebih sekarang ini PPL merasa tidak mempunyai tempat berpijak yang nyaman untuk dapat berperan secara optimal di pedesaan.
D. KEHIDUPAN PETANI YANG SEMAKIN TERJEPIT
Kasus di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa daya dukung lahan pertanian setempat hampir tidak memungkinkan dapat menopang ekonomi pedesaan yang lebih maju. Kehidupan ekonomi petani di pedesaan semakin terjepit. Dengan lahan serba terbatas dan produk andalan yang bernilai tambah relatif rendah, sulit mengharap perekonomian di pedesaan setempat dapat dipacu lebih tinggi lagi. Peningkatan investasi untuk usaha pertanian hanya mungkin dilakukan di bagian atau sub-sistem pengolahan dan pemasaran hasil. Hanya sayangnya kegiatan ini biasanya dikuasai oleh pelaku-pelaku ekonomi di luar desa. Oleh sebab itu tanpa adanya perubahan strategi yang mengarah pada peningkatan nilai tambah produk pertanian di pedesaan, maka investasi pertanian di pedesaan tidak akan rasional. Selama kondisi seperti saat ini, kemajuan perekonomian pedesaan akan sulit dipacu lebih cepat lagi.
Orientasi masyarakat pedesaan tampaknya tidak akan memacu usaha pertanian setempat. Kondisi di Nusa Tenggara Barat menunjukkan gejala kemacetan perkembangan usaha pertanian. Sulit mengharapkan pelaku ekonomi di pedesaan walaupun dari kalangan muda, dapat berkompetisi pada tingkat tinggi di perkotaan, mereka umumnya berbekal tingkat pendidikan formal setingkat sekolah lanjutan, bahkan banyak yang hanya tamatan Sekolah Dasar. Bekal pendidikan non-formal menjadi faktor dominan yang menggerakkan perekonomian pedesaan. Pertanian di pedesaan akhirnya mereka tinggalkan dan diurus oleh orang-orang yang berusia lanjut. Hal ini disebabkan karena kegiatan pertanian memang sudah sulit untuk ditingkatkan kinerja ekonominya. Agar secara ekonomi mereka tetap dapat bertahan hidup, mereka menjual jasa ketrampilan kerja yang serba pas-pasan yang mereka miliki ke luar desa. Kasus dari Desa Bagik Papan banyak dari golongan pekerja muda yang memilih menjadi TKI di luar negeri.
E. TATA NILAI DAN DINAMIKA EKONOMI SETEMPAT
Masyarakat di pedesaan Nusa Tenggara Barat tampaknya tidak mempunyai harapan terlalu besar terhadap kemajuan kegiatan di sektor pertanian. Tekanan alam yang berat terutama dari segi ketersediaan air dan kesuburan tanah, cukup memaksa masyarakat pedesaan setempat mencari sumber mata pencaharian di luar pulau. Tekanan alam tadi pada akhirnya juga menjadi tekanan ekonomi yang berat bagi masyarakat pedesaan setempat. Sebagai respon yang wajar, masyarakat pedesaan tidak merasa harus bertahan di desa. Mereka juga tidak enggan untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Tata nilai yang dinilai kurang sesuai untuk kemajuan di Nusa Tenggara Barat adalah kurangnya rasa malu, kerja kurang keras dan rajin, daya empati yang rendah, dan kurang terorganisir. Tampaknya sulit mengharap sektor pertanian di Nusa Tenggara Barat mampu menampung perubahan tata nilai ke arah yang lebih kompetitif. Tampaknya terdapat hubungan yang erat antara tata nilai, sejarah perkembangan perekonomian masyarakat pedesaan setempat dan daya dukung agroekosistem setempat.
F. ORGANISASI PETANI DAN TRANFORMASI EKONOMI
Gejala yang cukup menarik untuk dikemukakan bahwa saat ini hampir tidak ada organisasi yang tumbuh dari bawah, seperti lembaga perkreditan desa, koperasi desa atau lumbung padukuhan yang dapat mengembangkan diri dengan baik. Begitu juga dengan organisasi ekonomi petani yang dibentuk dari atas, hampir tidak ada yang bertahan hidup dengan tingkat daya saing tinggi. Kekuatan organisasi petani yang ada di pedesaan tampaknya tidak cukup tenaga untuk menggerakkan dinamika perekonomian pertanian pedesaan. Jika dibuat kesimpulan hampir semua organisasi petani di pedesaan kondisinya relatif rapuh. Kerapuhan ini diperkirakan menjadi salah satu sebab penting mengapa kehidupan dan perekonomian masyarakat pedesaan cenderung terbelakang.
Organisasi petani yang selama ini banyak dihidupkan dari atas mirip sebagai organisasi pengerahan masa. Dalam banyak kasus organisasi petani kelihatan hidup terutama jika keberadaan organisasi itu masih diperlukan pemerintah untuk melancarkan program atau proyek jangka pendek. Namun sebenarnya jika dilihat dari sudut bahwa organisasi itu adalah sebuah sarana peningkatan daya saing masyarakat pedesaan setempat secara berkelanjutan, ternyata masih sangat jauh seperti yang diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan karena para petani yang menjai anggotanya, tidak merasa peduli dengan segala macam aturan yang tidak dimengerti. Petani tidak mau mengerti karena merasa tidak mendapat manfaat apapun atas dibentuknya organisasi tersebut. Bahkan seringkali terjadi nama petani dipakai tanpa minta ijin untuk mensukseskan sebuah proyek. Seringkali petani tidak atau sangat jarang diajak untuk melakukan proses akuntabilitas penyelenggaraan organisasi yang di dalamnya namanya dicantumkan. Selain itu seringkali manajemen organisasi petani seperti KUD tidak transparan, dan cara pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh elit pengurus tertentu.
Dilihat dari keutuhan sistem agribisnis, pembentukan organisasi petani cenderung mengikuti pola bersekat yang rentan terhadap gangguan alam, harga, dan persaingan bisnis yang ketat. Sekatan organisasi yang menghasilkan nilai tambah paling rendah adalah organisasi produksi bahan baku, yamg umumnya dilakukan petani.Sistem keorganisasian petani yang tidak utuh menyebabkan tidak efisien. Bahkan titik lemah dari bangunan organisasi petani justru terletak pada organisasi produksi bahan bakunya. Keadaan ini menjadi sangat berbahaya, karena runtuhnya sekatan organisasi produksi bahan baku akan menghancurkan sekatan organisasi lainnya. Seefisien apapun organisasi di atas sekatan organisasi bahan baku, tidak akan banyak gunanya jika sistem sekatan organisasi produksi tidak sehat.
Selain itu sistem keorganisasian agribisnis dan kegiatan usaha ekonomi lainnya di pedesaan, kebanyakan tidak didasarkan atas pembentukan interdepedensi yang relatif simetris di antara para anggotanya. Akibatnya dalam keorganisasian usaha yang demikian, akan mudah terjadi konsentrasi kapital pada beberapa atau satu orang pelaku ekonomi di pedesaan. Jika kondisi ini benar-benar terjadi dan tidak ada sistem kontrol moral yang kuat dari budaya masyarakat setempat, maka akan mudah terjadi proses penimpangan sosial yang mengarah pada inefisiensi dan kerentanan sistem perekonomian di pedesaan. Sistem ini mudah terjadi pada keorganisasian ekonomi setempat yang menganut pola patron- klient dan juga mengikuti pola ekonomi pasar.
Transformasi perekonomian pedesaan dari yang semula mencirikan gambaran masyarakat pertanian tradisional-subsisten menjadi ke arah gambaran masyarakat pertanian maju-industrial, tampaknya tidak sepenuhnya dapat berjalan mulus. Srtukur dan organisasi ekonomi masyarakat desa yang menggerakkan proses transformasi, tampaknya belum cukup handal dan kuat untuk menopang proses transformasi masyarakat pertanian di pedesaan. Perkembangan perekonomian pedesaan banyak ditentukan oleh organisasi ekonomi dan kekuatan pelaku ekonomi di luar desa. Organisasi ekonomi masyarakat perkotaan yang sarat dengan ciri komersial berbasis industri dan jasa, dan didukung oleh sistem kelembagaan formal yang relatif kuat, menjadi penggerak dan pengatur perkembangan ekonomi pedesaan. Akibatnya dalam berhadapan dengan modernisasi dan globalisasi pasar, posisi ekonomi masyarakat pedesaan menjadi relatif lemah.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan penemuan hasil penelitian terhadap Program Perekayasaan yang telah di lakukan di dua desa di lahan marginal di Propinsi Nusa Tenggara Barat, dapat disumbangkan rancangan kebijaksanaan untuk percepatan tranformasi masyarakat pedesaan ke arah yang lebih sehat dan berkelanjutan sebagai berikut :
1. Percepatan tranformasi masyarakat pedesaan merupakan keperluan yang mendesak, terutama dikaitkan untuk mengejar ketertinggalan masyarakat pedesaan. Perekayasaan sosio-budaya yang dilakukan untuk itu harus disertai dengan pendekatan penyelenggaraan pembangunan yang bersifat desentralistik, dimana kekhasan setiap daerah dapat dijadikan dasar untuk menentukan pola pembangunan masyarakat pedesaan yang bersifat khas pula. Dengan pendekatan ini, keleluasaan masyarakat pedesaan untuk menentukan program pembangunan yang akan dijalankan menjadi lebih terbuka. Kreativitas masyarakat setempat dapat dijadikan penggerak utama percepatan transformasi perekonomian pedesaan.
2. Sumberdaya lahan masih menjadi salah satu kendala besar bagi pengembangan perekonomian pedesaan. Kegiatan usaha pertanian masih menjadi andalan perekonomian rumah tangga di pedesaan. Oleh karena itu perekayasaan sosio-budaya untuk mempercepat tranformasi masyarakat pedesaan harus dibarengi dengan melakukan reformasi keagrariaan di pedesaan yang lebih terarah. Demikian pula pengembangan organisasi petani, seyogyanya dibarengi juga dengan konsolodasi lahan di pedesaan. Kegagalan dalam melakukan reforma agraria akan dapat menjadikan perkembangan masyarakat pedesaan kehilangan pijakan atau basis usaha yang jelas.
3. Keorganisasian petani dan agribisnis di pedesaan masih tersekat-sekat dan menjadikan sistem ekonomi dan agribisnis tidk sehat dan berdaya saing rendah. Perekayasaan keorganisasian petani dan agribisnis pedesaan perlu diarahkan untuk menghasilkan produk pertanian akhir yan bernilai tambah tinggi. Sistem pengorganisasian petani dan agribisnis secara integratif perlu dipertimbangkan sebagai langkah strategis untuk peningkatan daya saing masyarakat pertanian di pedesaan. Keorganisasian usaha tadi perlu didasarkan atas kepemilikan secara kolektif oleh masyarakat pedesaan. Jaringan kemitraan usaha yang dikembangkan haruslah didasarkan pada interdependensi yang simetris atar pelaku agribisnis.
4. Sistem manajemen yang digunakan dalam pengorganisasian sistem usaha dan agibisnis di pedesaan, haruslah menggunakan kaidah pertanggungjawaban yang jelas, keterbukaan managemen, pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif, dan demokratik. Dengan cara yang demikian kepentingan anggota organisasi perekonomian di pedesaan dapat terakomodasi dengan baik, dan dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada anggota. Kesalahan di dalam managemen akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan anggota terhadapa berbagai program perekayasaan pembangunan di pedesaan.
5. Tata nilai yang dikembangkan dalam perekonomian pedesaan harus dapat mendukung ke arah kemajuan dan ketinggian daya saing masyarakat pedesaan. Seperangkat tata nilai yang sesuai untuk itu adalah kerja keras, rajin, pola hidup hemat, produktif, rasa malu, punya harga diri, motif berprestasi atau kompetitif, tidak resisten terhadap inovasi, budaya empati tinggi, kerjasama yang terorganisir dan sistematik, cara berfikir yang rasional dan impersonal, bervisi jangka panjang dan adanya kepemimpinan yang diandalkan. Sosialisasi terhadap seperangkat tata nilai tersebut harus menjadi bagian dari pengembangan budaya usaha masyarakat dan sumberdaya manusia pedesaan setempat. Pelembagaan tata nilai dapat dilakukan melalui lembaga keluarga, atau kelembagaan yang tumbuh dengan baik dan sehat di dalam masyarakat.
6. Di masa datang perlu dipikirkan tentang terbentuknya struktur masyarakat pedesaan yang lebih deferentiatif dan jauh dari kesan masyarakat yang polaristik. Struktur masyarakat yang demikian tadi perlu dibarengi dengan pengembangan kemampuan sumberdaya manusia pedesaan yang mempunyai ketrampilan dan etos kerja yang dapat diandalkan. Dengan gambaran ideal demikian ini para perancang kebijakan tingkat makro (nasional) harus mampu merumuskan langkah-langkah strategis ke arah itu, dan tidak terjebak dalam perencanaan yang bersifat yearly planning. Perencanaan tani harus bervisi jangka panjang dan bersifat multy years planning.
7. Dalam rangka lebih mempertajam pencapaian program pembangunan pedesaan di masa datang, dukungan pengetahuan tentang kekuatan sosio-budaya lokal sangat penting. Oleh sebab itu sekaligus dalam rangka mempertajam dan memperoleh pengkayaan pengetahuan, dan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi pembangunan pertanian dan pedesaan di masa mendatang, kegiatan penelitian atau studi sosial ekonomi perlu lebih memperhatikan aspek sosio-budaya lokal.

DAFTAR PUSTAKA
Pranaji, T. 1999. Perekayasaan Sosio Budaya Dalam Percepatan Transformasi Masyarakat Pedesaan Secara Berkelanjutan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Proposal penelitian.
Pranaji, T. 2000. Strategi pengembangan Kelembagaan Agribisnis (Pengolahan hasil) Perikanan. Makalah Seminar Sehari “Pemberdayaan Industri Pengolahan Ikan di Indonesia”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 2 Agustus 2000. Jakarta.
Pranaji, T, S. Wahyuni, E.L. Hastuti, J. Situmorang, A. Setyanto, dan C. Muslim. 2000. Perekayasaan Sosio-Budaya dalam Percepatan Transformasi Masyarakat Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Hastuti, E. L. 2004. Aksessibilitas Masyarakat Terhadap Kelembagaan Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. Dipersiapkan untuk diterbitkan pada Icaserd Working Paper. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian.

Sosiologi Kependudukan

MAKALAH
MATA KULIAH SOSIOLOGI KEPENDUDUKAN
“KAJIAN TERHADAP MORTALITAS DI DESA WANASABA KECAMATAN WANASABA LOMBOK TIMUR”

1. Latar Belakang Masalah
Kematian atau mortalitas merupakan suatu masalah yang sangat berpengaruh terhadap struktur penduduk pada suatu Negara, sejalan dengan itu mortalitas atau kematian terutama pada balita merupakan masalah besar yang dihadapi oleh tatanan penduduk bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus lebih serius untuk menangani masalah mortalitas tersebut sebab tinggi rendahnya tingkat kematian penduduk pada sustu daerah atau Negara tidak hanya berpengaruh pada pertumbuhan penduduk, tetapi juga merupakan barometer dari tinggi rendahnya tingkat kesehatan didaerah tersebut.
Negara Indonesia merupakan Negara yang tingkat mortalitasnya tergolong tinggi, pada tahun 1999 angka kematian balita di Indonesia mencapai 164,99 bayi meninggal tiap seribu kelahiran pada tahun 2001 tingkat kematian bayi di Indonesia menurun menjadi 62 perseribu tiap kelahiran (Mantra,2004:98). Dari data ini dapat ditarik suatu pemahaman bahwa beberapa tahun terakhir ini tingkat kematian di Indonesia mengalami penurunan meskipun belum maksimal, berkurangnya tingkat kematian bayi dipengaruhi oleh semakin meningkatnya pendapatan penduduk perawatan dan perhatian terhadap gizi, sebagaimana yang dikatakan oleh seorang ahli bahwa tingkat mortalitas suatu penduduk sangat dipengaruhi oleh pendapatan perkapita atau penghasilan, disamping perawatan, usia kawin dan gizi yang bagus serta perawatan bayi yang semakin diperhatikan (Utomo.1985:53).
Pada umumnya angka kematian bayi lebih tinggi di Negara-Negara berkembang dibandingkan dengan Negara-Negara maju. Di Negara-Negara berkembang angka kematian (Mortalitas) bayi dan anak balita masih lebih tinggi dibandingkan Negara-Negara maju (Munir,1983:1). Berdasarkan data statistik Estimasi tingkat kematian bayi 1990 setengah dari kematian yang terjadi dinegara-negara berkembang adalah terdiri dari anak-anak dibawah umur satu tahun, menurut seorang ahli kependudukan hal ini terjadi disebabkan oleh kegagalan orang tua dalam merawat bayi (pardoko,1981:1). Dapat dijelaskan bahwa kegagalan ibu dinegara-negara berkembang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki berbeda dengan masyarakat maju yang pendidikannya terjamin dan pada gillirannya mereka memiliki pengetahuan tentang kesehatan, pemberian gizi pada anak, dan cara perawatan bayi yang baik.
Angka kematian yang tinggi mempunyai hubungan erat dengan tingkat kadar gizi sebagaimana dikemukakan oleh seorang ahli “angka kematian mortalitas berhubungan erat dengan kadar gizi serta tingkat kesehatan ibu” (Hartati, 1993:1). Faktor lain yang berpengaruh besar terhadap tingkat mortalitas pada suatu daerah atau Negara adalah factor social ekonomi, kecelakaan yang terjadi saat melahirkan, lingkungan hidup dan tingkat pendidikan ibu.
Tingkat kematian bayi di Indonesia sangatlah beragam pada tiap-tiap daerahnya namun provinsi Nusa Yenggara Barat adalah provinsi yang tergolong paling tinggi mortalitasnya dibandingkan dengan daerah-daerah lain, dari data yang dikemas oleh proyek penduduk Indonesia provinsi tahun 1999 angka kematian di provinsi NTB adalah 3,51 perseribu (BPS NTB 1999). Terdapat pariasi angka mortalitas pada setiap provinsi di Indonesia dan pada umumnya di provinsi NTB adalah provinsi yang tingggi angka mortalitasnya sedangkan Jawa dan Bali memiliki mortalitas terendah di Negara Indonesia.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah factor-faktor yang mempengaruhu mortalitas di desa wanasaba kecamatan wanasaba Lombok Timur.
2. Bagaimanakah pengaruh pendidikan ibu terhadap mortalitas didesa wanasaba kecamatan wanasaba Lombok Timur.
3. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang diatas, maka dalam makalah ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat mortalitas di Desa Wanasaba kecamatan Wanasaba kabupaten Lombok Timur.

4. Pembahasan
a. Pendidikan
Secara oprasional pendidikan memaparkan kegiatan manusia yang disengaja untuk mencapai tujuan tertentu dan merupakan suatu kekuatan dinamis dalam kehidupan setiap individu yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, emosional, social dan etikanya, bahkan secara sederhana pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina keperibadiannya sehingga dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaanya sehingga bagaimanapun sederhana peradaban suatu masyarakat didalamnya pasti terjadi proses pendidikan.
Pendidikan adalah usaha dasar menyiapkan didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi perannya dimasa yang akan dating (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 1994 : 2). Ahli lain menyatakan bahwa pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan melalui upaya latihan dan pengajaran, proses, perbuatan cara pendidik. (Kamus Bahasa Indonesia, 1980 : 232).
Sedangkan pendapat lain mengatakanm bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang sadar, yang teratur dan sistimatis yang dilakukan oleh orang, diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi orang lain agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan, disampaikan sebagai bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada anak dalam pertumbuhan jasmani maupun rohani untuk mencapaimtingkat dewasa (Suryono 1996, 52) (Iftiha, 1999;7).
Mugni, mengatakan pendidikan adalah sebagai upaya untuk memberikan tuntutan pada segala kegiatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka baik sebagai manusia maupun sebagai masyarakat dapatlah keselamatan, kebahagiaan lahir dan bathin yang setinggi-tingginya.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional berdasarkan pancasila adalah meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, mempertinggi budu perkerti, memperkuat keperibadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia bertanggung jawab atas pembangunan bangsa, (Mugni, 2004 ; 30).
Dengan demikian pendidikan dapat oleh setiap warga dan pemerintah swebagai penyelenggara. Pendidikan ini mencangkup tingkat atau jenjang baik pendidikan disekolah (formal) maupun pendidikan diluar sekolah (Non formal) seperti latihan keterampilan dan pemberantasan buta aksara.
b. Tingkat Pendidikan
a. Pengertian tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan adalah lamanya orang tua anak mengikuti pendidikan secara formal dimana waktu tersebut dirumuskan dalam jumlah tahun, sehubungan hal diatas seorang ahli pendapat bahwa tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang pernah dialami atau lamanya mengikuti pendidikan formal (Fatmawati, 1997:37).
Dalam undang-undang Republik Indonesia nomer 2 tahun 1989 dijelaskan bahwa pendidikan bertujuan: “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yaiyu: manusia yang beriman dan bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi perkerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (Undang-Undang SPN, 1989:4).
Memberikan batasan pendidikan sebagai berikut: “suatu ektifitas yang esensial yang memungkinkan masyarakay yang kompleks modern yang melembaga dengan pendidikan formal, yang tetap berhubungan dengan proses pendidikan informaldiluar sekolah (Tim dosen FIP-FKIP Malang, 1980:4) jadi tingkat pendidikan yang dimaksud dalam sempat penelitian ini adalah penelitian ini adalah jenjang pendidikan dimana masyarakat tersebut sempat melaksanakannya, yaitu buta huruf (untuk tidak tamat sekolah dasar), SD, SLTP, SMU dan serjana.
Di Indonesia jenjang pendidikan formal dapat dibagi kedalam tiga tingkatan pendidikan yaitu:
a. Jenjang pendidikan dasar yaitu: jenjang pendidikan formal yang harus dilalui oleh seorang anak sebelum sampai kepada jenjang pendidikan berikutnya pada jenjang ini seorang anak harus menyelesaikan pendidikan dasar berupa pengetahuan dahulu ditaman kanak-kanak selama dua tahun dan pendidikan di sekolah dasar atau sederajat minimal selama enam tahun.
b. Jenjang pendidikan menengah yaitu: jenjang pendidikan formal kedua yang harus dilalui seorang selama minimal enam tahun juga.yaitu tiga tahun di SLTP atau sederajat dan tiga tahun pula di SMA/SLTA dan sederajat.
c. Jenjang pendidikan tinggi, yaitu jenjang pendidikan yang spesifikasi yang mengarah kepada kengurusan profesi, pada jenjang ini perserta didik/mahasiswa dapat memilih pendidikan jenjang akademik selama minimal tiga tahun dan setelah di wisuda mereka berhak mendapat gelar A.Ma (Ahli Madya), atau pendidikan sarjana yang diikuti oleh gelar spesifikasi (S.pd, untuk serjana pendidikan, misalnya).
b. Pendidikan Ibu
Pendidikan Ibu yang dimiliki wanita merupakan salah satu pendukung utama masalah fertilitas dan mortalitas. Pendidikan sangat penting sekali karena dapat mengurangi keterbelakangan pada masyarakat, menambah mobilitas baik antara kerja, menaiki produktifitas dan memberi inovasi, ini merupakan investasi manusia yang dapat meningkatkan kualitas pribadinya secara universal. Tinggi rendahnya pendidikan yang diperoleh oleh seseorang, terlebih pada wanita/istri yang mempunyai tingkat pendidikan rendah , sebaiknya pula mempunyai mortalitas tinggi, dikarenakan semakin tinggi pendidikan atau pengetahuan yang didapat seorang ibu maka kesehatan dan perawatan bayi akan mempengaruhi dan memperkecil tingkat mortalitas bayi/anak.
Selanjutnya seorang ibu akan turut mempengaruhi kemampuannya berfikir demi mempertahankan hidupanaknya, untuk itu, beberapa hal yang kaitan dengan kelahiran bayi yang sehat dan diidamkan seorang Ibu perlu didukung oleh berbagai factor misalnya “pengetahuan tentang Infant Mortaliti Rate (IMR), pengetahuan seorang Ibu tentang masa usia hamil, kehamilan, melahirkan dan membesarkan anak, usia kawin, pendapatan keluarga yang akan mendukung terhindar dari gizi buruk, pola perawatan, dan pemenuhan gizi seimbang.
Selain itu, seorang ibu yang berpendidikan akan mampu mempertimbang dengan benar kepada siapa ia harus bergantung dalam hal pemeriksaan dan persalinan. Kandungan gizi apa yang harus dikomsumsi selama proses kehamilan dan melahirkan, sebaiknya seorang Ibu yang tidak berpendidikan hanya memiliki asumsi makan untuk hidup dan seadanya saja.
c. Mortalitas Bayi
a. Pengertian Mortalitas Bayi
Indonesia sebagai Negara berkembang dewasa ini menghadapi masalah kependudukan antara lain adalah tingkat mortalitas bayi masih tinggi sekarang sudah mengalami sedikit demi sedikit menurun.
Adapun mortalitas bayi (Infan Mortalitas) adalah: kematian setelah bayi lahir hingga berumur kurang dari satu tahun (Mantra, 1989:81). Sedangkan menurut Wirosoharjo (1984:4), mendefiniskan angka kematian bayi adalah “kematian bayi berumur dibawah satu tahun perseribu selama kelahiran dalam tahun tertentu”. Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan disini bahwa mortalitas bayi adalah kematian bayi setelah lahir hingga berumur dari satu tahun.
b. Faktor yang Mempengaruhi Kematian
1. Pro Kematian
Terjadinya kematian disebabkan oleh beberapa hal seperti:
Fasilitas kesehatan yang tidak memadai, makanan kurang gizi, kecelakaan bunuh diri atau dibunuh, bencana alam, wabah penyakit, dan pencemaran lingkungan.
2. Anti Kematian
Fasilitas sesudah memadai, makanan cukup gizi, lingkungan yang bersih, larangan agama pembunuhan dan bunuh diri.
c. Jenis-Jenis Mortalitas
Menurut Hartati (1997:13) kematian (Mortalitas) dapat terjadi sekitar kelahiran maupun sebelum kelahiran seperti:
1. Kematian janin yaitu: semua kematian yang terjadi sebelum lahir atau sebelum lepas dari Ibunya kurang dari 20 minggu dalam kandungan, dan setelah itu dipandang sebagai Viable (telah berbentuk wujud manusia). Kematian janin biasanya dibagi dalam tiga kelompok antara lain:
a. Kematian janin dini, yaitu umur 20 minggu dengan berat 4999 gram.
b. Kematian janin intermediate, yaitu usia janin 20-28 minggu dengan berat 500-999 gram. Kematian janin lanjut, dimana kematian ini terjadi setelah 28 minggu dialam kandungan atau dengan berat 1000 gram atau lebih.
c. Kematian Parinatal (prenatal) yaitu kematian bayi terjadi setelah 20 minggu dalam kandungan sampai akhir. Kematian ekstra uterine (extrauterinedeath) merupakan istilah bayi kematian setelah lepas secara sempurna dari tubuh ibunya.
2. Abortus merupakan istilah yang digunakan bagi kematian janin yang umumnya terjadi sebelum 20 minggu dan kadang-kadang juga terjadi 20 minggu masa kehamilan. Ada dua katagori abortus, yaitu abortus di sengaja dan abortus yang tidak sengaja.
3. Kematian Neonatal, yaitu kematian yang terjadi setelah lahir hidup hingga umur 28 hari, jenis kematian ini meliputi.
a. Kematian Neonatal lanjut yaitu: kematian umur kandungan kurang lebih dari 7 hari.
b. Kematian Neonatal lanjut yaitu: kematian janin dalam kandungan antara 7-28 hari.
4. Kematian premature, apabila kematian terjadi setelah kira-kira antara 28 minggu sampai 36 minggu dari umur janin.
5. Kematian Post-Neonatal yaitu: kematian setelah lahir hidup umur 28 hari hingga 365 hari.
Seperti kita ketahui bahwa IMR atau angka kematian bayi merupakan suatu Barometer dari tingkat kesehatan masyarakat sedangkan yang dimaksud tingkat Mortalitas bayi adalah perseribu bayi lahir (Mantra, 1989:81). Maka mortalitas bayi dapat terjadi sebelum lahir maupun sesudah lahir dan mortality bayi atau anak merupakan Barometer kesehatan suatu masyarakat dan merupakan suatu keadaan yang perlu diperhatikan karena turut mempengaruhi perubahan pendidikan.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Mortalitas
Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dianalisis melalui statistic sederhana tabel distribusi frekuensi didapat pula dibahas dalam tulisan ini factor-faktor eksternal seperti penghasilan keluarga, usia kawin ibu, perawatan selama masa kehamilan, sampai setelah gizi seimbang.
a. Tingkat Pendapatan
Tingkat penghasilan keluarga dapat dipengaruhi oleh penghasilan dari orang tua, demikian juga jenis pekerjaan akan mempengaruhi penghasilan keluarga tersebut. Berikut ini akan disajikan dalam tabel tingkat penghasilan responden dan rata-rata mortalitas bayi (anak) didesa Wanasaba.
Tingkat responden dan jumlah bayi di desa Wanasaba.
Tingkat Penghasilan
(Rp/bulan) f Jumlah mortalitas bayi %
< 200
200-500
> 500 20
10
10 11
6
5 50
27,3
22,7
Jumlah 40 22 100
(sumber: Data primer)
Dari tabel diatas mortalitas bayi di desa wanasaba sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan sebab orang yang berpendapatan rendah terancam oleh mortalitas bayi yang tinggi. Hal ini memang sangat umum kita temukan dimasyarakat sebab orang yang pendapatannya rendah terjadi dengan kesulitan gizi dan kesehatan, dengan demikian anak mereka yang kekurangan gizi akan terancam sakit dan pada akhirnya terjadi kematian sebab tingkat pendapatannya yang rendah sehingga mereka tak dapat membayar biaya kesehatan, sebaliknya mereka yang tinggi pendapatannya akan hidup sejahtera sehingga tingkat mortalitas anaknya rendah karena kebutuhan mereka di penuhi.
b. Usia Kawin
Berdasarkan usia kawin disini dititik beratkan dari usia kawin sewaktu seseorang pertama kali menikah tabel berikut akan menjelaskan tentang usia kawin dan rata-rata mortalitas balita didesa wanasaba.
Usia kawin responden, dan jumlah mortalitas bayi di desa wanasaba.
Usia kawin f Jumlah mortalitas bayi %
15 – 19
20 – 24
25 – 30
30 + 22
19
5
4 13
4
3
2 59,1
18,2
13,6
9,1
Jumlah 40 22 100
(sumber: Data primer)
Berdasarkan tabel diatas dapat di asumsikan bahwa usia kawin yang dilakukan pada umur 15-19 tahun adalah 59,1 % dan sedangkan usia kawin yang dilakukan oleh responden pada umur lebih dari 30 tahun hanya sedikit di bandingkan dengan umur yang kurang dari 30 tahun adalah 9,1 %.
Pada umumnya hal tersebut disebabkan oleh factor biologis dimana jika seseorang melangsungkan perkawinan pada usia muda yakni dibawah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi yang laki-laki maka kecenderungan mortalitasnya tinggi, sebab pada wanita rahimnya belum begitu kuat (matang) begitu pula dengan sperma laki-laki maupun wanita. Dengan lemahnya sperma tersebut, maka kekuatan organ tubuhnya terhadap penyakit rendah dan dari pasangan kawin muda juga cenderung melahirkan anak premature yang ujung-ujung kematian sebaliknya. Orang yang kawin pada usia kawin (perempuan 17 tahun keatas dan laki-laki 20 tahun ke atas) kecendrungan mortalitasnya rendah sebab sperma mereka sudah matang sehingga anak yang terlahir memiliki ketebalan tubuh yang baik.
c. Perawatan
Begitu jua dengan perawatan, data perawatan kehamilan dititik beratkan pada frekuensi pemeriksaan kehamilan.
Frekuensi pemeriksaan kehamilan dan jumlah mortalitas bayi di desa wanasaba
Frekuensi pemeriksaan f Jumlah mortalitas bayi %
1 kali
2 kali
3 kali 15
8
17 12
6
4 54,5
27,3
18,2
Jumlah 40 22 100
(sumber: Data primer)
Berdasarkan data diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa semakin rendah pemerikasaan kehamilan yang dilakukan oleh responden maka ada kecenderungan angka mortalitas tinggi. Begitu juga sebaliknya semakin tinggi pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh responden maka ada kecenderungan semakin menurun tingkat mortalitas bayi.
d. Gizi
Gizi adalah zat-zat pada makanan yang berguna untuk mempertahankan hidup, dan dapat menghasilkan energi (Dikes, 2000). Tetapi masalah gizi kurang makan lama makin disadari sebagai salah satu factor penyebab kematian bayi. Hal ini sangat kuat mempengaruhi pertumbuhan badan, menurunkan daya kerja, melemahkan daya kreaktifitas, gangguan pada perkembangan mental, rentan terhadap berbagai penyakit sampai pada kematian bayi tersebut.

e. Pengaruh Pendidikan ibu terhadap Mortalitas Balita
Pendidikan sang ibu rumah tangga dapat berperan penting terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga, ibu merupakan bagian utama dalam merawat dan membesarkan anak, oleh sebab iitu tingkat pendidikan sang ibu berpengaruh terhadap tingkat mortalitas balita bahkan dalam hal ini tingkat pendidikan ibu dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan besar kecilnya tingkat mortalitas pada suatu daerah tertentu. Semakin tinggi pendidikan sang ibu tingkat mortalitas anak balitanya semakin rjadi dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa tingkat pendidikan ibu.
Untuk perawatan dan kesehatan balita pada suatu masyarakat ibulah yang memegang peranan utama sebab ibu lebih memahami hal-hal tersebut dari pada kepala keluarga (ayah), namuntidak dapat di pungkiri bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh ibu mempunyai peranan yang sangat penting dan keselamatan dan kesehatan bahkan perkembangan anak balitanya.
Tingkat pendidikan ibu bermolikasi terhadap komposisi gizi balita, cara memelihara dan merawat kehamilan dan anak balita, perkembangan anak balita sebagai masalah berkaitan dengan kesehatan anak sejak masih dalam kandungan hingga tumbuh menjadi anak yang dewasa.
Kematian balita (mortalitas) pada umumnya di pengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya factor-faktor tersebut yang penting utama adalah tingkat pendidikan ibu, factor pendukung dari besarnya mortalitas balita pada umumnya adalah kurangnya pengetahuan ibu tentang cara perawatan dan pemeliharaan kehamilan dan balita, makanan yang kurang dan kurangnya penggunaan rumah sakit dan puskesmas ddalam melahirkan (persalinan).
Faktor yang dapat mengurangi atau menghambat mortalitas balita adalah lingkungan yang bersih dan teratur, tingkat pendidikan ibu dan penggunaan pasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan polindes dalam persalinan. (WARDANA dkk, 96 : 53).
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diklasifikasikan tingkat mortalitas balita berdasarkan tingkat pendidikan ibu sebab semakin tinggi tingkat pendidikan ibu naka tingkat mortalitas balita pada suatu daerah akan semakin rendah, demikian pola adanya pada masyarakat Desa Wanasaba Kec.wanasaba Lombok Timur.

5. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:
1. Tingkat pendidikan sangat signipikan pengaruhnya terhadap mortalitas balita di desa wanasaba, sebab ibu yang berpendidikan akan lebih perhatian terhadap kadar gizi, cara perawatan dan pola makanan yang sehat.
2. Tingkat sosial ekonomi masyarakat tergolong dalam kategori sedang dalam mempengaruhi mortalitas balita sebab meski masyarakat kaya, tapi tidak berpendidikan mortalitas balita tetap akan mengancam mereka di bandingkan dengan masyarakat yang taraf ekonominya sedang ke atas sama besar mortalitasnya dengan masyarakat yang taraf ekonominya rendah.
3. Lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap mortalitas balita didesa wanasaba.

Selasa, 13 Oktober 2009

Study Masyarakar Indonesi (SMI)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala perubahannya struktur social dan pola budaya dalam satu masyarakat. Perubahan social busaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan ini terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan menyebab dari perubahan.
Perubahan social budaya terjadi karena beberapa factor. Diantaranya komunikasi; cara dan pola piker masyarakat; factor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadi konflik atau revolusi; dan factor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan dan pengaruh budaya masyarakat lain.
Ada pula beberapa factor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; prasangka negative terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adapt atau kebiasaan; konflik atau revolusi; dan factor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Ada pula beberapa factor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negative terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat istiadat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Perubahan Sosial?
2. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perubahan social?
3. Bagaimana bentuk proses perubahan Sosial?
4. Baaimana proses penyatuan dan pemecahannya?
5. Bagaimana proses Akomodasi keseimbangannya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perubahan Sosial
Perubahan social dalam analisis sosiologi menyangkut dorongan-dorongan perubahan social yang inheren dalam kontruksi tatanan social yang bersangkutan. Premis ini mencerminkan posisis masalah (problem stellung) sosiologis, yang terus berkembang sejak awal abad XIX.
Hal ini, dirasakan oleh masyarakat Indonesia banyak terjadi perubahan tatanan social. Yang dimaksud tatanan social disini dapat berupa keadaan transisi dan prasosial, keadaan individual sampai ke kehidupan social seperti kelembagaan social dan struktur masyarakat. Misalnya dalam mengidentifikasi berupa mekanisme keorganisasian, eksploitasi dan aliensi, disorganisasi social tentang anomi dan sebagainya.
Masalah perubahan social, dimulai dengan organisasi social sebagai suatu kontinuitas dan disorganisasi social. Dengan demikian, kondisi dan situasi dapat mengganggu keseimbangan dan menghasilkan disorganisasi social. Arti simbiosis organisasi kepada bermacam-macamnya ketergantungan fungsi, peranan pembagian dan fungsi yang terbentuk dalam kehidupan dasar nonsimbiotis dan saling ketergantungan juga membantu masyarakat sebagai kekuatan untuk kohesi atau kekompakan social. Faktor-faktor budaya, kepercayaan agama, loyalitas dan andilnya hokum-hukum yang bersifat ideologis, semuanya merupakan factor nonmaterial yang dihasilkan bersama di dalam masyarakat.
Simbiosis dan ikatan budaya adalah fundamental dan penting dalam menciptakan masyarakat bersama dan dalam mempertahankan integrasi social. Melalui proses sosialisasi, individu membutuhkan dan mengikuti pola-pola prilaku melalui simbiose dan aspek budaya dalam masyarakat. Individu akan saling tergantung dan akan saling mengikuti nilai-nilai, sehingga mempunyai dampak terhadap perilaku dan hubungannya dengan masyarakat.
Dalam keadaan normal dapat pula terjadi perubahan atau disorganisasi social yang menyebabkan bermacam-macam, contohnya:
1) Konflik norma, norma-norma dalam masyarakat dapat terjadi konflik dengan adanya perubahan-perubahan dalam berbagai pola atau aspek lain dari kehidupan yang menyebabkan disorganisasi.
2) Tingkat perubahan budaya waktunya tidak semua sama, tetapi terjadi “cultural lag”, yaitu tidak samanya perkembangan antara budaya materi dengan mentalnya orang yang menerima budaya materi tersebut.
3) Peraturan (sistem) yang tidak baik atau konflik antara manusia dengan lingkungannya (fisik, social, ekonomi, politik dan lain-lain).
Disorganisasi social tersebut berkaitan dengan teori-teori social yang diterapkan dan bahkan menentukah arah perubahan sosialnya. Teori tertib social tersebut meliputi empat macam, yaitu: teori pakasa, teori kepentingan, teori consensus dan teori lambat.
Teori tertib social tersebut dijelaskan oleh Mar’at sebagai berikut:
Teori paksa berasumsi bahwa kekuasaan (power) adalah sarana ampuh untuk mencapai tertib social. Teori ini menolak tentang realitas keanekaragaman social dan budaya. Keteraturan social diperoleh dari paksaan fisik dan moral. Paksaan moral akan diterima apabila nilai-nilainya diterima. Teori ini sering digunakan dengan dalih pembangunan yang mendesak. Akibat dari penerapan demikian, sering timbul gerakan-gerakan di bawah tanah, persekongkolan kutukan dan disorganisasi social, tertib semu dan ketegangan (laten). Keadaan demikian akan menimbulkan perubahan social.
Teori kepentingan berasumsi bahwa masyarakat dapat tertib karena ada kesepakatan social dan saling percaya. Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Teori ini hanya efektif bagi masyarakat pedesaan yang bersifat homogen. Tujuan tertib social kepentingan dapat tercapai apabila ada consensus. Dampak dari teori kepentingan ini adalah tertutupnya budaya kritik, sehingga aspirasi tidak tersalurkan. Keadaan ini akan menimbulkan perubahan social dengan mental budaya yang kurang menguntungkan, misalnya apatis.
Teori kepsepakatan berasumsi bahwa tertib social dapat tercapai karena manusia terikat akan norma dan nilai, sehingga terjadi consensus yang bersifat moral. Kelemahan teori ini, consensus akan dipaksakan pada masyarakat yang bersifat pluralistic, seperti banyaknya unsur-unsur primordial.
Teori lambat menekankan perlunya suatu kondisi yang dapat tercapai dengan memperlambat perjuangan unsure pokok kehidupan melalui isu-isu kecintaan, kesetiaan dan disiplin. Teori ini akan menimbulkan perubahan pada segi-segi personalitas, seperti sikap yang mementingkan segi formal (serba formalitas) tetapi tidak menyelesaikan masalah.
Untuk menganalisis arah perubahannya sendiri, dibantu dengan perangkat teori Parsons tentang teori tindakan berupa variable-variabel berpola yang memperlihatkan ilmu pilihan dikotomi yang harus diambil seseorang secara eksplisit dan implicit dalam menghadapi orang lain dalam situasi social apa saja. Teori Parsons ini hanyalah untuk menganalisis bagaimana tindak lanjut sikap social masyarakat sebagai akibat penerapan teori tertib social. Hasil analisis tindakan teori parsosn ini membantu dalam memberikan alternative penerapan teori tertib social yang tetap.
B. Faktor penyebab Perubahan Sosial
Ada 2 faktor yang menyebabkan perubahan social yaitu:
1. Faktor Intern (dalam)
- Bertambah dan berkurangnya penduduk (kelahiran, kematian, migrasi)
- Adanya penemuan baru, seperti:
1. Discovery: penemuan ide atau alat baru yang sebelumnya belum pernah ada
2. Invention : penyempurnaan penemuan baru
3. Innovation /Inovasi: pembaruan atau penemuan baru yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehingga menambah, melengkapi atau mengganti yang telah ada. Penemuan baru didorong oleh : kesadaran masyarakat akan kekurangan unsure dalam kehidupannya, kualitas ahli atau aanggota masyarakat
- Konflik yang terjadii dalam masyarakat
- Pemberontakan atau revolusi
2. Faktor Ekstern (luar)
- Perubahan alam
- Peperangan
- pengaruh kebudayaan lain melalui difusi(penyebaran kebudayaan), akulturasi ( pembauran antar budaya yang masih terlihat masing-masing sifat khasnya), asimilasi (pembauran antar budaya yang menghasilkan budaya yang sama sekali baru batas budaya lama tidak tampak lagi).
Jadi menurut Soerjono Soekanto faktor pendorong perubahan sosial adalah:
1. Sikap menghargai hasil karya orang lain
2. Keinginan untuk maju
3. System pendidikan yang maju
4. Toleransi terhadap perubahan
5. System pelapisan yang terbuka
6. Penduduk yang heterogen
7. Ketidak puasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu
8. Orientasi ke masa depan
9. Sikap mudah menerima hal baru.
C. Proses Perubahan Sosial
Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan,melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai social yang kebudayaan secara intergratif. Atas dasar ini, semua pihak, apakah tokoh? Tokoh masyarakat, formal atau non formal, anggota masyarakat lainnya. Apakah dalam skala individual atau pun dalam skala kelompok, seyogyanya memahami dan menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek atau unsure social atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsure-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmoniskan kondisinya dengan unsure-unsur lain yang telah berubah terlebih dahulu.
Oleh karena itu mesti memahami dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan nilai (value). Di mana norma skala kelompok social yang bersangkutan, sedangkan nilai (value) skala keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju atau modern, maka nilai-nilai social dan cultural yang bersifat universal mendominasi dan mengisi semua mosaic kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
a. Orientasi Perubahan
Yang dimaksud orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa orientasi, antara lain (1) Perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan factor-faktor atau unsure kehidupan social yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsure yang memang bentuk atau unsure baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsure, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek, namun demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk berupaya menelusuri, mengekslorasi, dan menggali serta menemukan unsure-unsur atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa yang bermartabat.
Tidaklah jarang, bahwa tokoh-tokoh dan ungkapan-ungkapan yang bermanusia seni sastra pada masa lampau, baik suatu fenomena yang bernuansa imajinasi, yang ditampilkan oleh berbagai bentuk ceritera rakyat atau folklore. Semuanya lazim menyadarkan atau menampilkan nilai-nilai keteladanan, baik dalam aspek gagasan, aspek pengorganisasian dan kegiatan social, maupun dalam aspek-aspek kebendaa. Aspek-aspek ini senantiasa dimmuati oleh nilai-nilai kearifan dan kebijakan yang memberikan acuan bagaimana orang mesti berfikir, berasa, berkarsa dan berkarya dalam upaya bertanggungjawab pada dirinya, pada sesamenya dan pada lingkungannya, serta inilah yang menjadi nuansa-nuansa dalam membangun kepribadian atau jatidiri sebagian besar masyarakat atau suatu kelompok bangsa dimanapun mereka berada.
b. Modernisasi Sebagai Kasus Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisi, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi. Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilaiatau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma (norms) yang kebelakangnya tergantung pada (depend on) ruang (tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values sebagai contoh atau kasus, seyogyanya manusia mengenakkan pakaian ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua pihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini. Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan norma-norma yang dari tempat ke tempat, dri waktu ke waktu, dan dari kelompok ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.

D. Proses Penyatuan dan Pemecahan
Proses penyatuan dan pemecahan ini adalah lebih mengarah pada pengambilan keputusan dalam menyelesaikan suatu masalah, misalnya:
 Masalah dalam Proses Pengambilan Keputusan
1. Karakteristik dan Jenis Masalah
Definisi sederhana tentang masalah adalah sesuatu yang harus ditemukan pemecahannya. Definisi lain yang diajukan adalah masalah merupakan sebuah pertanyaan yang diajukan untuk diberikan solusi atau pertimbangan jawaban. Dalam kajian manajemen dan bisnis, masalah dianggap sebagai terjadinya kesenjangan antara peristiwa yang diharapkan terjadi (expected condition) dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi (real condition).
Dunn (1994) mengemukakan bahwa masalah menunjukkan kesenjangan antara hasil yang dicapai dengan harapan. Dalam bahasa statistik yang dimaksud dengan masalah adalah deviasi antara standar pelaksanaan dengan pelaksanaan yang berbeda. Johanes Supranto (1998:21) mendefinisikan masalah sebagai sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan yang diinginkan/diharapkan. Prajudi Atmosudirdjo (1990:161) mengemukakan masalah adalah sesuatu yang menyimpang dari apa yang diharapkan atau direncanakan atau ditentukan untuk dicapai, sehingga merupakan rintangan atau hambatan untuk mencapai tujuan. McLeod (1996:200) mendefinisikan masalah sebagai suatu kondisi yang memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian yang luar biasa atau menghasilkan keuntungan yang luar biasa.
Suatu masalah memiliki beberapa karakteristik, Dunn (1994) mengemukakan terdapat empat karakteristik dari masalah kebijakan, yaitu:
1) Interdependence of policy problem
Dalam kenyataan masalah-masalah bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari seluruh system masalah yang paling baik diterangkan sebagai messes, yaitu suatu system kondisi eksternal yang menghasilkan ketidakpuasan di antara segmen-segmen masyarakat yang berbeda. System masalah yang saling berkaitan mengharuskan pemecahan masalah menggunakan pendekatan holistik, yaitu suatu pendekatan yang memandang bagian-bagian sebagai tak terpisahkan dari keseluruhan system yang mengikatnya.
2) Subjectivity of policy problem
Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapat suatu anggapan bahwa masalah bersifat objektif –misalnya, polusi udara dapat didefinisikan sebagai tingkat gas dan partikel-partikel di dalam atmosfer- data yang sama mengenai polusi dapat diinterpretasikan secara beda.
3) Artificiality of policy problem
Masalah-masalah keputusan hanya mungkin ketika manusia membuat penilaian mengenai keinginan untuk mengubah beberapa situasi masalah. Masalah merupakan hasil penilaian subyektif manusia, masalah itu juga bisa diterima sebagai definisi-definisi yang sah dari kondisi sosial yang obyektif, dan karenanya masalah dipahami, dipertahankan dan diubah secara sosial.
4) Dynamic of policy problem
Terdapat banyak solusi untuk suatu masalah sebagaimana banyak definisi terhadap masalah tersebut. Masalah dan solusi berada dalam perubahan-perubahan yang konstan, dan karenanya masalah tidak secara konstan terpecahkan. Solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang.
2. Proses Mendifinisikan Masalah
Charles F. Kettering (Siagian, 1980:98) mengatakan suatu masalah yang sudah didefinisikan dengan baik berarti sudah separoh terpecahkan. Patton dan Sawicki (1986:103) menjelaskan bahwa definisi masalah merupakan langkah kunci.
Persoalannya adalah tidak mudah untuk mendefinisikan suatu masalah, sebab menurut Miller dan Starr (1978:504) tidak semua orang memandang hal yang sama sebagai masalah bahkan bila hal tersebut terjadi pada situasi yang serupa. Sebagian orang akan mengatasi masalah itu dan berupaya memecahkannya. Yang lainnya akan mengabaikan atau menunda masalah, artinya, tidak segera berupaya memecahkan masalah. Bagi mereka hanya ada satu pertanyaan petunjuk-masalah, bukan masalah nyata menurut bahasa. Kondisi ini menurut Miller dan Starr (1978:504) disebabkan oleh beberapa hal yaitu 1) tujuan yang diharapkan dari pemecahan masalah, 2) ruang lingkup (size) organisasi, dan 3) keuntungan potensial yang diharapkan dari pemecahan masalah. Oleh karena itu menurut Ackoff (Dunn, 1994), mengemukakan “keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal karena kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat”. Dengan demikian dalam merumuskan masalah terlebih dahulu harus memahami hakikat dari suatu masalah.
Perumusan masalah dapat dipandang sebagai suatu proses. Dunn (1994) menyebutkan ada empat fase yang saling berkaitan, yaitu
1) Pencarian masalah (problem search), adalah proses penemuan dan penyatuan beberapa representasi masalah, atau metaproblem, yang dihasilkan oleh para pelaku kebijakan.
2) Pendefinisian masalah (problem definition), adalah proses mengkarakteristikan masalah-masalah substantif ke dalam istilah-istilah yang paling dasar dan umum.
3) Spesifikasi masalah (problem specification), adalah tahap pemahaman masalah dimana analis mengembangkan representasi masalah substantif secara formal (logis atau matematis)
4) Penghayatan masalah (problem sensing), adalah tahapan perumusan masalah dimana analisis kebijakan mengalami kekhawatiran dan gejala ketegangan dengan cara mengenali situasi masalah.
E. Proses Akomodasi Keseimbangan
1. Pengertian Akomodasi
Menurut Soerjono Soekanto, Istilah akomodasi digunakan dalam dua arti, yaitu sebagai suatu keadaan dan suatu proses. Sebagai suatu keadaan, akomodasi berarti adanya kenyataan suatu keseimbangan (equilibrium) hubungan antar individu atau kelompok dalam berinteraksi sehubungan dengan norma-norma social dan kebudayaan yang berlaku. Sebagai suatu proses, akomodasi berarti sebagai usaha manusia untuk meredakan atau menghindari konflik dalam rangka mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin – Akomodasi adalah suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang mengarah kepada adaptasi sehingga antar individu atau kelompok terjadi hubungan saling menyesuaikan untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.
2. Tujuan Akomodasi Secara Sosiologis
1) Untuk mengurangi konflik antar individu atau kelompok sebagai akibat perbedaan paham. Sehingga akomodasi disini bertujuan untuk mendapatkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut agar memperoleh suatu pola baru.
2) Untuk mencegah meledaknya konflik.
3) Kerjasama antar kelompok-kelompok social yang saling terpisah
4) Mengusahakan peleburan antar kelompok-kelompok social yang terpisah. Seperti dengan perkawinan campuran atau asimilasi

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perubahan social budaya terjadi karena beberapa factor diantaranya komunikasi, cara dan pola pikir masyarakat, factor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya komflik atau revolusi, dan factor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang direncanakan, melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai social dan kebudayaan secara integrative, atas dasar lain, semua pihak, apakah tokoh? Tokoh masyarakat, formal atau non-formal anggota masyarakat lainnya, apakah dalam skala individual ataupun dalam skala kelompok, seyogyanya memahami dan menyadari bahwa, manakala suatu aspek atau unsure social atau kebudayaan mengalami perubahan, maka unsure-unsur lainnya mesti menghadapi dan mengharmoniskan kondisinya dengan unsure-unsur lain yang telah berubah terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
M. Munandar Soelaiman. 1998. Dinamika Masyarakat Transisi: Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan. Yogyakarrta: Pustaka Pelajar Offset.
Henriot, Joe Hollad Peter SJ. 1986. Analisis Sosial dan Refleksi Teologis. Yogyakrta: Kanasius.
Poespowardojo, S,. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Van Peursen, 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.